PERINTAH dan larangan Tuhan itu berkaitan dengan hal-hal lahiriah dan hal-hal batiniah.
Hal yang lahiriah berkaitan dengan perkataan dan perbuatan, seperti puasa, shalat, amar ma’ruf dan nahi munkar, mencuri, berzina, dan seterusnya. Sementara yang batiniah berkaitan dengan jiwa dan hati, seperti ikhlas, rendah hati, sombong, berbangga diri, pamer, dengki, dan sebagainya.
Nah, perkataan dan perbuatan yang benar tidaklah akan diterima oleh Allah, selama tidak menjadikan perkara-perkara baik yang membersit dari hati dan jiwa sebagai titik tolak.
Jika kita tidak memenuhi rasa ikhlas kepada Allah dalam perkataan dan perbuatan, niscaya tidak akan membuahkan hasil berupa kedekatan kepada Allah.
Ketika kita melaksanakan shalat dengan menyempurnakan syarat dan rukunnya secara lahir, tetapi jika itu semua tercemari oleh riya’, bangga diri, maka kita dianggap belum menunaikan hak Allah dari sisi batin, dari segi pertanggungjawaban kepada Allah, dan dalam pandangan hakikat.
Oleh karenanya, sekali lagi, bahwa perkara perjalanan kita menuju Allah itu ada sisi lahir dan batin, ada hukum dan pertanggungjawaban kepada Allah, serta ada syariat dan hakikat.
Keduanya mesti berpadu. Tidak boleh misalnya, hanya memenuhi sisih lahiriahnya saja, atau sisi batiniah saja. Maka, amalan yang memadukan dua hal itulah yang bakal diterima oleh Allah Swt. Dan amalan yang tidak memenuhi syarat salah satu dari keduanya adalah amalan yang tertolak di sisi-Nya.
“Maka barangsiapa yang mengharap perjuampaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan jangan menyekutukan-Nya dengan apa pun dalam beribadah kepada-Nya.” (al-Kahfi: 110).
Jadi, keserasian perbuatan lahiriah berupa amal kebajikan dengan sikap batin yang menjauhkan diri dari syirik merupakan syarat berjumpa Tuhan.
Artinya, hakikat agama Islam, sebagaimana pula yang dipaparkan Dr. Said Ramadhan al-Buthi dalam Al-Hikam Al-‘Athaiyyah, tersusun dari keserasian dorongan yang timbul dari dalam hati dan perbuatan-perbuatan lahiriah.
Kedua hal itu berjalan beriringan di atas jalan yang telah digariskan oleh Al-Quran dan Sunah Baginda Nabi Saw. Jika salah satunya tidak ada dalam perjalanan ini, tidaklah terwujud hakikat keislaman.
Bayangkan, jika bukan karena dua unsur tersebut, maka tidak akan ada bedanya antara kaum beriman dengan kaum munafik. Juga bayangkan, jika bukan karena pentingnya kedua unsur itu, maka kita akan menyaksikan bahwa hari ini umat Islam sudah berada dalam “puncak kejayaan, puncak kemegahan”.
Kenapa? Lihat saja, masjid-masjid umat Islam, seperti di daerah pantura Jawa, tampak makmur. Kubah-kubah menjulang, pintu-pintu utama berornamen Jawa klasik dengan ukiran kayu jati yang jelas berharga puluhan miliar. Pokoknya megahlah.
Namun, secara hakiki umat Islam masihlah terpuruk, tak lain tidak bukan karena belum terjalin keserasian antara lahir dan batin. Secara lahiriah makmur dan megah, memang, tetapi unsur batiniah umat teramat kering kerontang.
Bahwa jiwa manusia yang tak beriringan dengan amal saleh dalam menapaki jalur keilahian adalah bahaya terbesar yang mengintai umat Islam saat ini.
Maka, kajian-kajian macam Al-Hikam Ibnu Athaillah menjadi sangat perlu disemarakkan, lantaran esensi Islam tidak lain adalah pendidikan dan penggemblengan hawa nafsu agar menanggalkan segala bentuk keegoisan, kesombongan, dan keterikatan dengan segala bentuk perhiasan duniawi.
Betapa indah, jiwa yang bersih karena Allah mengiringi langkah setiap perbuatan baik, seperti berderma, membantu fakir, atau menolong sesama tetangga. Betapa celah permusuhan, kebencian, dan kedengkian, niscaya terkikis, dan bahkan tertutup sama sekali.
Lantas kemudian, umat akan memiliki kekuatan yang tak terkalahkan, persatuan yang tak tergoyahkan, dan pertolongan Allah Swt. pun akan senantiasa menyertai.
Tetapi, jika jiwa tidak mendapat pendidikan, sungguh berbahaya. Sebab, di saat begitu, kepribadiannya akan tampil antara yang secara ucapan dan perbuatan menawan, berbarengan dengan kondisi jiwa yang menggebu-gebu dalam angan-angan keduniaan dan keinginan-keinginan pribadi.
Karakter yang demikian tampak mulia, tetapi toh pada akhirnya hanya akan dijadikan ajang untuk mencari keuntungan dan menjauhkan dirinya dari segala bentuk kerugian material.
Secara lahiriah ia adalah seorang yang menunaikan hak-hak Allah Swt., selaku pejuang di jalan-Nya. Namun pada hakikatnya ia menjadikan angan-angan dan kepentingan pribadi sebagai tujuan.
Sungguh hal itu sangatlah berbahaya. Karena agama hanyalah tameng yang ia jadikan sebagai pelindung dari segala penolakan atas perilaku tak semestinya. Agama hanyalah kain yang menutupi hakikat buruk jiwanya dari pandangan banyak manusia.
Sehingga, bukankah yang demikian itu amat sangat berbahaya, terutama sekali jika melekat pada diri seorang calon pejabat di negeri ini, yang mendadak tampil “alim” jelang pemilihan, dan seterusnya.
Nah, hari-hari ini, gaya hidup penuh kemuliaan dengan memadukan yang lahiriah dengan batiniah betul-betul didambakan. Bahwa kehormatan dan rasa aman di negeri ini akan nyata adanya.
Ungaran, 20 Desember 2025
Baca juga: Pikiran dan Cinta Bersinergi

0 Komentar