Pikiran dan Cinta Bersinergi

TUHAN mencipta manusia tersusun dari dua realitas abstrak, yakni akal dan emosional. Akal mampu memahami segala sesuatu, dan emosional merupakan dasar dari cinta atau benci terhadap segala sesuatu.

Dan kita sepakat, tempat kecerdasan akal yang membentuk kesadaran dan pengetahuan adalah otak, sedangkan sumber emosional yang berkaitan dengan segala sensasi, persepsi, dan emosi terdapat dalam ruh atau jiwa atau pun hati nurani.

Dengan demikian, selain entitas tubuh, kita adalah makhluk dikotomis. Bahwa kita merupakan akumulasi dari pikiran yang memahami, emosional yang mencintai dan membenci. Bahwa perilaku kita dengan segenap perbedaan dan keragaman disebabkan pikiran dan hati nurani.

Akal pikiran berperan untuk mendeteksi dan mengindikasi. Dalam hal ini, peran akal mirip dengan peran lampu yang dipasang di depan sepeda motor yang memancarkan cahaya. 

Sedangkan emosional berperan untuk merepresentasi dalam memotivasi perilaku. Ia mirip dengan bahan bakar yang berproses dalam kendaraan.

Sehingga, bawaan manusia adalah merepresentasi dalam dominan emosi atas akal. Maka, kebijaksanaan Allah adalah dengan mengharuskan manusia dituntun kepada fungsi-fungsi dan tugas kemanusiaan.

Allah mendorong manusia menunaikan tugas itu dengan menambahkan kesenangan. Allah menjadikan cinta sebagai pendukung pikiran dan kepentingan.

Perhatikan misalnya, perhatian seorang ibu kepada anaknya yang masih kecil. Kesediaannya untuk memperhatikan segala urusannya, mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengannya, semua sikap dan perilakunya, dan apa yang dihadapinya.

Namun, jika bukan karena cinta yang Allah tanamkan dalam hati si ibu terhadap putranya yang masih kecil, maka pasti ia akan menyudahi pekerjaan-pekerjaan pelayanan selama 24 jam, dan dia akan meninggalkan anak kecil itu begitu saja tanpa memedulikan nasibnya.

Nah, mari kita telisik lebih dalam. Allah Swt. mempersiapkan hamba-hamba-Nya kebahagiaan di akhirat sekiranya mampu merealisasikan dua perkara: keyakinan dan perbuatan baik. 

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal.” (Al-Kahfi: 107).

Begitulah, Allah Swt. menjelaskan di banyak ayat-Nya bahwa keyakinan dan perbuatan baik merupakan dua sejoli yang tiada pernah terpisahkan.

Dan orang-orang yang mendapat rida-Nya adalah mereka yang mampu mengakumulasikan kedua pasangan itu dalam kehidupan. 

Adapun yang dimaksud dengan keyakinan adalah apabila pikiran merangkul dengan pasti semua kebenaran dan keyakinan kepada Allah Swt. Dan yang dimaksud perbuatan baik adalah perilaku yang terpancar dari keyakinan-keyakinan sejati dan penguasaannya atas pikiran. 

Oleh karena itu, sumber keyakinan kepada Allah adalah pemahaman melalui pikiran, dan tidak dapat digantikan dengan apa pun, seperti mengikuti nenek moyang, atau tunduk kepada paksaan orang-orang zalim.

Dr. Said Ramadhan Al-Buthi, dalam buku Ketika Al-Qur’an Berbicara Cinta, menyebut bahwa beriman berkaitan dengan premis-premis keyakinan dan faktor-faktornya, yaitu kontemplasi, memaksimalkan potensi akal dan pikiran. 

Sehingga, barangsiapa tidak memaksimalkan potensi pemikiran dan berinteraksi dengan bukti-bukti, mengambil sebab akibat yang mengantarkannya mencapai keyakinan, bukanlah orang yang layak mengemban tugas.

Adapun kemunculan yang disebut perbuatan-perbuatan baik, tidak lain tidak bukan, jalannya adalah cinta. Dan cinta yang dimaksud adalah cinta kepada Allah Swt. 

Katakanlah, ‘jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’” (At-Taubah: 24).

Ketika cinta kepada Allah menjauh dari hati, pastilah cinta kepada yang lain akan menempati kedudukannya. Keinginan, hawa nafsu, uang, harta benda, gengsi, mencintai kepentingan diri dan harga diri, yang bakal mengisi relung jiwa. 

Walau pikiran-pikiran dapat menjelaskan duduk perkara kebenaran dengan gamblang, akan tetapi ia tidak memiliki kendali atas apa pun yang dikatakan dan diciptakannya. Sebab bahan bakar cinta yang mendominasi hati tak sejalan dengan pikiran.

Maka, tak pelak kita mesti mengarahkan emosi cinta kepada Allah dan utusan-Nya. Yaitu dengan memperbanyak berzikir kepada Allah dan mengorelasikan nikmat-nikmat-Nya dengan Dzat yang melimpahkan kenikmatan. Dan selalu berwirid dengan membaca Al-Quran yang disertai kontemplasi.

Dengan demikian, lantaran berzikir dan wirid dengan membaca Al-Quran disertai kontemplasi, akal mendapat dukungan yang ideal dari perasaan-perasaan cinta yang tertuju kepada Allah. 

Nah, apabila keyakinan akal dan cinta hati telah bersinergi, maka keyakinan kepada Allah, utusan-Nya, dan syariat-Nya mampu menjadi lokomotif yang aktif bergerak dan berjalan menuju jalan dan seruan Allah.

Inilah tatanan Al-Quran, jalan-Ku yang lempang dan benar, ikutilah jalan itu. Janganlah kamu mengikuti jalan-jalan lain yang kemudian kamu bercerai berai dari jalan Allah.” (Al-An’am: 153).

Ya, begitulah jalan yang lurus, tatkala akal dan emosional berseiring, pikiran dan cinta bersinergi.

Ungaran, 16 Desember 2025

Baca juga: Berdoa

Posting Komentar

0 Komentar