:: Muhammad Zuhri
Di tengah-tengah kemelut perkembangan science dan teknologi, yang menawarkan kesejahteraan hidup ummat manusia pada satu sisi dan mengancam kelestarian alam pada sisi lain, tiba-tiba muncul suatu gagasan besar untuk mengidealisasikan globalisasi.
Pada saat itu muncul juga berbagai macam pembahasan dan penerbitan tulisan-tulisan tentang Jalan Sufi, bagaikan sebuah jawaban yang dilemparkan dari sebuah dunia yang jauh, dunia masa lalu, yang sudah langka perwujudan faktualnya di jaman modern ini.
Umat manusia berjalan dan berjalan terus menyusuri kemungkinan-kemungkinan yang belum pernah diungkapkan, sampai melewati batas yang mesti didapatkan tanpa memperoleh sesuatu yang memberi makna kepada kehadirannya. Persis bagai Musa as. bersama Yusa' bin Nun yang mencari tempat bertemunya dua samodera, mereka mesti mengalami suatu keterlanjuran dan mesti pula bersedia menarik surut langkah-langkah mereka yang tergesa.
Fenomena ini mengisyaratkan telah sampainya manusia modern pada puncak kesadaran mereka tentang semesta, dan berhasil menemukan diri mereka yang bukan 'anak struktur' yaitu subyek sejarah yang bertanggung jawab. Dengan kata lain mereka telah ditantang oleh kesadaran mereka sendiri tentang fungsi kehadiran mereka di tengah-tengah kenyataan. (Amanat Kekhalifahan)
Demikianlah manusia modern dipanggil oleh Robbul-alamin untuk mencoba mewakiliNya di atas bumi melewati situasi Khuf, ketakutan yang memuncak karena terancam kemusnahan yang diakibatkan oleh hasil kreativitas mereka sendiri.
Di sini mereka dihadapkan dengan masalah yang sama sekali baru yaitu masalah tentang diri manusia yang dibebani sesuatu yang tak pernah selesai (The Unfinished Universe). Selama ummat manusia masih tetap berada dalam kondisinya yang seperti sekarang tak akan mungkin mereka sanggup mengemban amanat Kekhalifahan yang telah mulai mereka sadari wujudnya di dalam diri.
Umat manusia membutuhkan New Image of Man dan menyiapkan pendadarannya sedini mungkin untuk memenuhi panggilan tersebut.
Tetapi kita tidak akan dapat sampai di sana dengan image kita tentang Superman, Rambo atau pun Ninja. Sejarah telah membuktikan bahwa ummat manusia tidak membutuhkan kekerasan dari luar untuk melejit ke langit ketinggian, melainkan membutuhkan kekuatan yang konstan dari dalam diri mereka sendiri. Dan lawan yang pertama kali harus ditundukkan hanyalah diri sendiri. Maka 'Pengorbanan Diri Sendiri' merupakan ciri khas Jalan Sufi dari zaman ke zaman.
Simbolisme yang terdapat di dalam cerita-cerita purba yang masih sering kita dengar di kalangan masyarakat pedalaman benar-benar sangat menarik perhatian kita. Misalnya tentang sebuah kerajaan yang terus menerus dilanda bencana alam, wabah penyakit atau permusuhan yang berkepanjangan, tidak akan dapat ditanggulangi selain dengan mengorbankan salah seorang warganya. Tentu saja tidak untuk dibantai atau dibenam hidup-hidupan di dalam tanah, melainkan salah seorang warganya rela mematikan ego kecilnya agar Ego Besar berkenan menempati dirinya.
Roro Jonggrang yang menuntut kepada Pelamarnya supaya menyiapkan 1000 patung dalam waktu semalam, tak berhasil dipenuhi oleh Bandung Bandawasa yang hanya sanggup menciptakannya sebanyak 999 buah (unfinished). Dan akhirnya ia sendiri yang sanggup menggenapinya dengan menjelmakan diri menjadi sebuah patung.
Nabi kita Muhammad SAW yang menawarkan 99 Asma Allah (unfinished) dan beliau sendiri yang menggenapkannya menjadi seratus, ketika beliau di-Isra-kan (beliau tidak berjalan sendiri melainkan dijalankan Allah) dan mendapatkan perintah Shalat buat diri dan ummatnya. Tanda kematian beliau dari ego kecilnya adalah kondisi diri beliau yang diinformasikan dalam ayat: 'Wama yantiqu 'anil hawa, in huwa illa wahyun yuha'.
Moh. Iqbal membalik istilah tersebut supaya tidak memancarkan nuansa makna yang negatip dengan bersinandung:
Kejadianku patung belum selesai
Cinta memahat daku dan aku menjadi manusia.
Ego kecil (kudhi) inilah yang oleh Iqbal diberi predikat patung dan Ego Besar (kudha) yang menggantikannya yang layak disebut manusia. Namun hakekatnya tetap sama, yaitu lahirnya Ego Besar hanya melewati kematian ego kecil lebih dahulu.
Untuk sampai pada kondisi kekhalifahan tersebut kita tidak membutuhkan New Image of Man karena secara fitri ummat manusia sudah berada di sana dan dalam kadar tertentu telah mengaktualisasikan citra kekhalifahan tersebut ke dalam lingkungan kecil kehidupannya sehari-hari, misalnya perlindungan orang tua terhadap kelangsungan hidup keturunannya beserta upaya pengembangan kwalitas hidup mereka, sikap manis dan pengorbanan yang ikhlas dari sang asyik kepada sang ma'syuk, dls.
Yang kita butuhkan sekarang justru sosok nyata yang medan cintanya mensemesta yang setiap pengejawantahan dirinya (pengungkapan sebab) sanggup mengilhami dan merangsang lingkungannya untuk berpacu ke sana. Atau dengan kata lain ummat manusia membutuhkan hadirnya sosok-sosok Muhammad baru yang konteks dengan sikon zamannya.
Kenyataan yang ada sekarang, ummat manusia hanya dirangsang untuk menjadi golongan yang sanggup memproduk sarana kehidupan yang sebesar-besarnya saja (golongan Sholihin). Sehingga kenyataan kita pun mirip dengan seekor sapi-perah atau kuda-beban yang hidup dalam rutinitas mesin yang tak punya jenuh.
Padahal untuk mencapai kwalitas kehidupan yang tinggi kita tidak cukup hanya disupplay dengan sarana. Kita masih membutuhkan sesuatu yang lebih sulit pengadaannya, yaitu Situasi yang menopang perkembangan ummat untuk mencapai kwalitas hidup yang didambakan. Golongan yang berorientasi di bidang ini adalah golongan Syahidin.
Meskipun golongan ini terdapat di dalam lingkungan sosial kita, namun wujudnya jauh dari misi yang diperankannya.
Yang sangat langka adalah wujudnya golongan ketiga, yaitu golongan yang sanggup merangsang 'proses' perkembangan ummat yang oleh Al Qur'an diberi identitas sebagai golongan Shiddiqin. Inilah golongan yang berorientasi terhadap sifat-sifat luhur (akhlaqul karimah) dengan jihadnya yang unik, yaitu mengkondisikan sifat-sifat Allah di dalam diri dan lingkungan sosialnya.
Golongan yang tertinggi adalah golongan Nabiyyin (meski tanpa predikat nabi), yaitu golongan yang menciptakan Struktur kehidupan ummat yang relevan dengan zaman dan kebutuhan perkembangan setiap individu warganya dalam mencapai nilai kehadiran yang setinggi-tingginya.
Empat golongan yang masing-masing mengemban misinya yang luhur inilah yang kita butuhkan eksistensinya di dalam lingkungan sosial yang hendak mewujudkan ide globalisme yang Insya Allah akan diterima oleh segenap ummat. Di dalamnya fungsi Kekahlifahan setiap individu akan mendapatkan medan, cuaca, kesempatan dan sarananya untuk berkembang.
Hanya degan petunjuk Samawi budaya ummat manusia akan sanggup melahirkan wujudnya. Sebuah sorga buat seluruh warganya. Baldatun toyyibatun wa robbun ghafur.

0 Komentar