:: Muhammad Zuhri
Bila kita memiliki seekor anjing yang terlatih untuk menjaga rumah dan perkebunan, sehingga kita tidak lagi khawatir akan kecurian, anjing yang setia itu akan tetap bernama seekor anjing. Demikian pula apabila anjing tersebut kita dapati sangat pemalas, rakus dan suka melahap ayam milik tetangga, ia masih pantas menyandang nama sebagai seekor anjing. Hal itu disebabkan seekor anjing tidak akan pernah mampu berhenti menjadi anjing, baik dalam kondisinya yang liar atau pun jinak.
Makhluk bebas terikat
Lain halnya dengan diri manusia, makhluk yang satu ini sangat trampil untuk memilih dan menentukan identitas dirinya, sehingga ia mampu keluar dari fitrahnya sebagai manusia. Ia mampu turun lebih rendah dari seekor binatang sehingga setan pun menjadi malu melihatnya. Tetapi ia sanggup pula terbang ke langit ketinggian sampai para malaikat menjadi tunduk di depannya.
Mengapa semua itu menjadi mungkin bagi manusia? Keajaiban ini pastilah bersebab. Dan sebab satu-satunya adalah karena ia telah menerima titipan yang agung dari Robbul-alamin, yaitu amanat perwakilan (Al-Ahzab: 72).
Oleh karena itulah setiap individu manusia mendapatkan kebebasan di ruang lingkup kemanajeran Tuhan. Tetapi konsekwensinya ia akan dituntut tanggungjawab di depan pengadilan-Nya, sampai sejauh mana ia mampu memerankan kekhalifahannya di muka bumi.
Dengan demikian kebebasan yang dimiliki oleh manusia berupa kebebasan yang terikat dengan iradah rububiyah-Nya. Seperti kebebasan yang pernah dipercontohkan lewat kehadiran Rasulullah SAW ketika memerankan amanat yang dipikulnya, yaitu dengan batasan memberi rahmat bagi semesta alam (Al-Anbiya: 107).
Tetapi ternyata iradah nafsiyah lebih kuat mendominasi gerak langkah kebanyakan manusia, sehingga mereka condong untuk menggunakan kebebasannya tanpa menghiraukan tanggung jawab.
Mereka mempunyai hati yang tiada digunakan untuk mengerti, mereka punya mata yang tiada digunakan untuk melihat dan mereka punya telinga yang tiada digunakan untuk melihat dan mereka punya telinga yang tiada digunakan untuk mendengar. Seperti binatanglah mereka, bahkan lebih sesat lagi. Mereka tergolong orang yang lalai (terhadap amanat yang dipikulnya (Al-A'raf: 179).
Tanggung jawab dalam Semesta Global
Sebenarnya ummat manusia itu bukan tergolong makhluk penduduk bumi dan bukan pula makhluk penduduk langit, melainkan makhluk yang didatangkan untuk mengurusi keduanya buat sementara waktu. Mereka hadir sebagai manifestasi iradah Tuhan, ketika Ia berkehendak mewakilkan kemanajeran-Nya di muka bumi (Al-Baqarah: 30)
Maka diperintahkan-Nya seluruh malaikat (penduduk langit) supaya bersujud kepadanya (Al-Baqarah: 30-34). Begitu pula sungai-sungai, matahari dan bulan, siang dan malam dan apa yang ada di dalamnya (penduduk bumi) diciptakan untuk tunduk dan melayani kebutuhannya, supaya mereka mendapatkan sarana dan kenikmatan di dalam melaksanakan tugasnya (Ibrahim: 32-34).
Pertama kali kita didatangkan ke dalamnya, dikenalkan-Nya kita pada nama-nama, kemudian makna-makna yang menghijab semua kenyataan yang ada di baliknya (Al-Baqarah: 31), hingga akhirnya kita bisa mengenal segala benda, kemanfaatan serta kemungkinan-kemungkinannya.
Ternyata segala sesuatu yang kita temukan di kerajaan bumi hanya merupakan santapan nafsu dan idaman-idamannya, sedang yang kita dapatkan dari kerajaan langit merupakan santapan akal-budi dan rumah-rumahnya. Keduanya semata-mata wilayah kemanajeran yang diamanatkan kepada kita dan bukan tempat pulang kkita yang azali. Oleh karena kita lahir dari ide Allah, maka tempat pulang kita satu-satunya hanyalah Haribaan Allah (Al-Baqarah: 156).
Dengan demikian hak kita di dalam wilayah tersebut hanyalah sekedar mengenal petanya dengan baik (Fushshilat:53), memungut perbekalan ala kadarnya (Al-Baqarah:168), dan melintasinya tanpa meninggalkan dampak kerusakan (Al-Baqarah: 60).
Sedang kewajiban kita terhadapnya adalh mengurusi dengan sepenuh potensi dan daya kreatifitas yang dikaruniakan, dengan harapan dapat menjadi lebih baik, agar memudahkan para penempuh yang lain di dalam melintasinya di kemudian hari.
Dengan menunaikan hak dan kewajiban tersebut kita akan terbebas dari tuntutan semesta, karena fasilitas yang ditawarkannya telah kita daya-gunakan untuk menjaga kesucian dan kelestariannya (At-Takatsur: 8).
Tanggung jawab dalam Semesta Individu
Adapun tentang semesta individu kita yang unik, sangat sulit untuk digaris bawahi, karena di dalam tamsya pulang ke haribaan-Nya tiada terdapat jalan roh yang sama.
Setiap individu manusia diberi kesempatan untuk menemukan semestanya sendiri dengan bekal latar belakang yang unik dan pemeranan dirinya yang unik pula.
Di dalam semesta individu tiada seorang pun dari warga dunia ini yang mampu menggantikan peran pihak lain kecuali palsu, klaim atau permainan sandiwara belaka. Ketunggalan setiap individu itulah yang mengisyaratkan Ketunggalan Allah di dalam setiap perbuatan pelayanan-Nya terhadaap makhluk. Maka untuk itu tak ada suatu sistem atau metodologi yang dapat berlaku bagi lebih dari satu orang.
Jalan inilah yang oleh Para Sufi disebut sebagai Jalan Tuhan. Jalan yang dengannya setiap individu akan siap mempertanggungjawabkan dirinya di depan Al-Malikul Haq (Al-Ankabut: 69). Maka yang dapat kita ungkapkan dari semesta individu ini hanya sekedar tehnis dasarnya (bukan saranan tehnis).
Menganggapi Amr Allah
Setiap obyek yang disentuh oleh seseorang di dalam perjalanan hidupnya adalah finalnya sesuatu di dalam proses menjadi atau sesauatu yang masih berada di dalam proses menjadi.
Baik dari produk alam atau pun dari produk kreatifitas manusia, setiap obyek memiliki sejarah menjadi yang didukung oleh semua pihak yang terlibat di dalam proses penyempurnaannya. Di dalamnya terdapat perjalanan nilai yang menuju ke tahap nilai yang lebih sempurna.
Ketika perjalanan nilai itu terpaksa berhenti gara-gara obyek tersebut kita ambil sebagai sarana kebutuhan, kita akan tertuntut tanggungjawab untuk mengaktualisasikan nilai baru sebagai imbalannya. Seolah di baliknya terdapat perintah untuk mengungkapkan kemungkinan terbaik dari obyek yang kita pungut, sekaligus terdapat larangan untuk mengungkapkan kemungkinan buruknya.
Dan memang demikianlah keadaannya, tiada sesuatu yang ditemukan seseorang di dunia ini kecuali terdapat perintah dan larangan Tuhan di baliknya.
Aala lahul kholqu wal amru, tabarokallahu robbul 'alamin, Sungguh milik-Nya lah ciptaan dan Amr (perintah) itu. Maha berkah Allah Sang Pengurus semesta alam (Al-A'raf: 54)
Sifat Amer Allah yang tampil di balik setiap obyek yang kita hadapi sangatlah tunggal dan tidak berulang, sedang jawaban dari setiap individu yang meresponnya sangat unik. Maka jika kita tidak segera meresponnya pada saat ia datang di depan kesadaran, ia akan lenyap dan tidak akan balik lagi buat selama-lamanya.
Boleh jadi kita akan menemukan Amer yang serupa pada kesempatan lain, namun kewajiban kita terhadapnya merupakan kewajiban saat itu dan tidak berarti menutup absen kita di depan Allah pada kesempatan yang telah hilang. Kewajiban merespon Amer Allah tidak dapat diqadla sebagaimana kita mengqadla ibadah puasa.
Sedang keunikan dari jawaban kita terhadapnya terletak pada sikon diri kita yang tidak pernah tetap melainkan senantiasa berubah setiap saat, sehingga keluputan kita dari bertatap muka dengan Wajah Allah benar-benar sebuah kehilangan yang tak ada gantinya.
Begitu keras dan ketat 'kewajiban waktu' bagi setiap penempuh semesta diri, sehingga Rasulullah SAW menyatakan bahwa tiada berkah baginya matahari terbit di timur, bila hari itu tidak lebih baik dari hari sebelumnya.
Di dalam menanggapi Amer Allah yang datang setiap saat di dalam proses berbudaya, Asy-Syaikhul Arif Billah, Qutbul Maujud, Muhyil Millat Waddin, Muhammad bin Abdul-Jabbar An-Nifari berwasiat demikian:
"Apabila engkau menangkap Amr Allah pada saat kedatangan sesuatu, hendaklah engkau siap menjadi pengganti-Nya di dalam menghadapi obyek tersebut. Kalau tidak, setsuatu itu akan menjadikanmu sebagai penggantinya, dan lenyaplah Wajah Allah dari penglihatanmu" (An-Nifari hidup di abad ke-4 Hijriah di kota Basroh, Irak).
Konsekwensi dari kesadaran tersebut membuat setiap penempuh jalan Allah merasa berkewajiban untuk menunaikan Amar Ma'ruf dan Nahi Mungkar dengan gaya dan caranya yang unik, kreatip dan efektip di sepanjang safarinya pulang ke pangkuan Sang Kekasih Jati. Itulah konsekwensi tertinggi dari kehidupan seorang hamba terhadap semesta dan dirinya di depan Robbul 'Arsyil 'Adzim.

0 Komentar