Budaya Spiritual

:: Muhammad Zuhri

Kata ‘spiritual’ sering disalahpahami oleh kebanyakan pemakainya sebagai segala sesuatu yang berbau gaib, seperti tenaga-dalam, hypnotis, magnetis, psichis, metaphisis dan bahkan sihir dll, sehingga menghijab makna substansialnya yang alwi. Tidak jarang seseorang diklaim memiliki power spiritual gara-gara sering mengungkapkan hal-hal yang aneh dan tak masuk akal, padahal sebenarnya ia seorang penipu yang berilmu. Akibatnya akan menyesatkan orang banyak. Baik bagi orang yang ingin berorientasi ke sana maupun bagi orang yang menjadi muak dengan istilah spiritual yang gapaiannya sekedar itu. Kerancuan makna spiritual ini mesti kita cairkan terlebih dahulu sebelum kita berangkat untuk membahasnya, apa lagi melangkah memasukinya. Boleh jadi analisa di bawah ini bisa menolong untuk memahaminya.

Dalam falsafah nilai kita menemukan empat nilai yang melatarbelakangi wujud manusia, yaitu: nilai aestetika, nilai logika, nilai ethika, dan nilai esensi (spiritual).

Nilai aestetika adalah nilai yang terungkap dari wujud fisikal sesuatu (bentuk, warna, lezat dan manfaatnya).

Nilai logika adalah nilai yang terungkap dari strukturnya sesuatu (komposisi dari organ-organnya).

Nilai ethika adalah nilai yang terungkap dari hubungan individu dengan lingkungannya (moral, akhlaq).

Nilai esensi (spirital) adalah nilai yang terungkap dari makna hadirnya suatu individu di depan semua individu lain dan bahkan semua makhluk  yang sempat ditemukan dalam hidupnya

Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang disebut nilai spiritual seseorang secara dzahir dapat ditandai lewat integritasnya di tengah semesta kehidupan. Kondisi yang demikian mengisyaratkan telah dimilikinya tujuan hidup yang benar ( beriman.). Maka kata ‘amanu’ selalu didampingi dengan ‘wa ‘amilushsholihat’ di dalam Al –Qur’an. Dan oleh karena itu sering terjadi seseorang telah merasa dirinya beriman tetapi Allah tidak mau mengakuinya sebagai mukmin karena tidak dibuktikan dengan perbuatan positip yang menandakan kepeduliannya dengan semesta kehidupan. Berpijak pada kenyataan ini kita dapat menemukan 4 lingkung pengabdian ummat manusia.

Orang yang hidupnya hanya berorientasi pada nilai aestetika disebut hamba nafsu

Orang yang hidupnya hanya berorientasi pada nilai logika disebut hamba ilmu

Orrang yang hidupnya hanya berorientasi pada nilai ethika disebut hamba insan

Orang yang hidupnya berorientasi pada nilai esensi/spirit  disebut hamba Allah

Keempat lingkungan ummat tsb menciptakan jaringan kehidupan yang berbeda sifat sifat dan kiblatnya, yaitu : budaya materialis, budaya strukturalis, budaya humanis dan budaya religious. Budaya religious inilah yang dikembangkan oleh K.H.Ahmad Mutamakkin dengan ujung tombak dakwahnya Lakon Dewa Ruci dalam drama wayang kulitnya.

Perjalanan Sang Bima dalam mencari identitas dirinya yang tertinggi (final), yang bersifat ghaib, kecil, tak tampak di mata, spiritual, yang disimbolkan dengan Dewa Ruci. Pertama-tama ia harus sanggup menundukkan empat raksasa yang menguasai Hutan Kedirian - Fisikalnya dan kemudian melumpuhkan Naga Raja Sakti sang penguasa Lautan Kedirian – Psichisnya sebelum menemukan Peran Diri-nya sebagai Hamba Allah yang dikokohkan (mutamakkin). Sebuah jihad yang tidak boleh tidak harus dihayati oleh seorang yang mengaku dirinya beriman untuk membuka bashiroh spiritualnya, hingga yang tampak di matanya hanya Wujud Sang Benar (Wajhulloh). Bila gagal dalam kehidupan ini untuk menatapnya, akan gagal pula kelak di akherat untuk menemuinya, dan akan lebih sesat lagi jalannya. (Al Qur’an : 17 – 72).

Untuk menempuh Jalan Kebenaran, demikian istilah populernya sekarang, seseorang perlu memiliki niat yang kuat untuk mencapai tujuan yang benar. Hal itu tidak mungkin tumbuh dengan sendirinya tanpa dibiasakan di dalam proses hidup yang panjang. Dalam hal ini Sang Bima telah lama berupaya ingin menyelamatkan masyarakatnya dari bencana perang Barata Yuda. Selanjutnya ia harus sanggup menepis semua lecehan dan cemoohan lingkungannya, yang menandakan bahwa ia telah memiliki keyakinan yang kuat untuk merealisir gegayuhannya. Padahal  keyakinan sangat erat hubungannya dengan takwa, bahkan merupakan buah dari taqwa. Bila taqwa seseorang turun tensinya, bersamaan dengan itu turun pula keyakinannya. 

Dan di atas segalanya seseorang harus berani mengambil  keputusan dan sanggup menanggung segala resiko dari pilihannya sendiri. Seseorang harus berani berkata kepada diri sendiri: “Inilah satu-satunya jalan bagiku. Tak ada kemungkinan lain untukku di dalam hidup ini selain melaksanakannya.” 

Maka telah sampailah kita pada setinggi-tinggi perolehan ummat manusia di dalam hidup ini, yang berupa Santapan Spiritual.atau Makanan Sang Ruh. Makrifat yang dicari oleh setiap penempuh jalan hanyalah Makanan Hati, hukum yang dipelajari oleh penempuh kehidupan hanyalah Makanan Akal dan ilmu yang dikumpulkan oleh ummat manuasia hanyalah Makanan Nafsu.

Bila satu saat seseorang didatangi tetangganya yang fakir, dengan wajah yang putus asa minta bantuan finansial untuk biaya operasi anaknya di rumah sakit, yang bila tidak segera di bawa pulang akan membengkak biayanya. Sedang uang yang dimilikinya hanya sejumlah itu dan kebutuhannya masih banyak. Ia harus mengambil keputusan, memberikan uangnya atau menolak. Bila ia memberikan miliknya, ia akan menemukan dirinya sebagai Sang Pemberi. Bila ia menolaknya, ia akan menemukan dirinya sebagai Sang Penolak. Ia bebas untuk memilih siapa dirinya, tanpa ada otoritas yang mempengaruhi pilihannya. Pada saat yang sama  Allah menyaksikan keputusan yang diambil oleh hamba-Nya di dalam nenentukan Siapa Sebenarnya Dirinya.  Subhanalloh!

Katakan: Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, kalau kamu berkehendak menjadi mukmin, mukminlah. Tetapi bila kamu berkehendak menjadi kafir, maka kafirlah (Al Kahfi: 29.)

 Keputusan untuk menentukan siapa diri kita, ada di tangan diri kita sendiri. Karena pada saat itu Allah memberikan kemerdekaan kepada kita untuk menjadi seperti apa yang kita ingini, menjadi seperti apa yang kita pilih, menjadi seperti apa yang kita lakukan.

Akhirnya Sang Bima berhasil bertemu dengan Dirinya Sendiri, Sang Roh, Sang Guru Sejati, Dewa Ruci, yang tak tampak di mata dzahir, tetapi jelas bagai matahari di dalam bashiroh batin.seorang hamba Alloh. Itulah intisari ajaran yang dibudayakan oleh Sang Arif Billah K.H. Ahmad Mutamakkin, Kyai Dalang Tasawwuf di Pati Utara.

Semoga abadi gemanya di dada ummat yang beriman.

Posting Komentar

0 Komentar