Dewa Ruci

:: Muhammad Zuhri

Di jaman globalisasi  ummat manusia cenderung mendapatkan pelayanan budaya secara instan. Hal itu menunjukkan penemuan identitas dirinya sebagai insan teknis. Sebagai insan teknis ummat manusia berlomba cepat menggapai sasaran yang didambakan, demi kemapanan hidup atau kesejahteraan berdunia. Untuk itu mereka rela mengorbankan nilai-nilai yang telah didapatakan sebelumnya, misalnya ‘batas berbuatan’ [ hukum ], tehnis berkomunikasi yang akurat [ etika, moral ] dls. Baju yang telah lama ditinggalkan kini mulai dikenakan lagi. Egois, mementingkan diri sendiri, tak peduli hak orang lain mulai menghiasi kehidupan bangsa-bangsa maju. Semua ilmu yang didapatkan hanya untuk memperkaya diri, hukum yang dipelajari hanya untuk membatasi pihak lain, dan moral yang diketahui hanya untuk menjaring simpati pihak lain ke dalam cara hidup- nya, perindustriannya dan last but not least komoditinya.

Fenomena ini mengisyaratkan pudarnya nyala kesadaran ummat manusia, sehingga tanpa segan dan malu, bahkan dengan bangga mendemonstrasikan penemuan dirinya sebagai ‘hamba nafsu’, atau dengan kata lain sebagai binatang yang cerdas dan berteknologi. Padahal gejala semacam itulah yang dulu pernah menghancurkan peradaban ummat manusia di jaman Namrud, Fir’aun, Qorun dan Hitler [perang dunia II]

Memang kita dipanggil TUHAN  dengan predikat makhluk nafsi [ya ayyatuhan nafsul mutmainnah], tetapi kita diseru untuk menjadi hamba Allah [irji’ie ila robbiki rodliyatan mardliyyah, fadkhulie fie ‘ibadie] maka penemuan diri sebagai makhluk nafsi tidak dapat disebut sebagai penemuan, karena tanpa upaya dari pihak manusia. Sejak sedia kala [secara qodrati] kita memang makhluk nafsi yang akan mencapai puncak kehidupnnya dengan kematian yang sangat dibenci oleh semua nafsu. Kita dihimbau untuk keluar dari identitas qudrati tsb. dengan upaya mati-matian dan pengorbanan seumur-umur untuk mensujudkan potensi yang terkandung di dalam nafsu kepada Allah, hingga menemukan hakekat baru sebagai hamba Allah yang urusan-Nya seluas langit dan bumi, bukan hanya segelintir tubuh dan orang-orang yang terdekat dengan dirinya. Inilah yang layak disebut dengan penemuan identitas diri, karena dengan segala pengorbanan mereka telah mendapatkan kemungkinan dirinya yang tak pernah akan mati [wadkhulie jannatie]

Penemuan diri sebagai hamba Allah bukanlah penemuan diri yang bersifat eksistensial melainkan bersifat esensial. Oleh karena itu tidak dapat diukur, dibatasi dan diidentifikasi dengan kriteria-kriteria eksistensial. Dengan kata lain yang disebut hamba Allah tidak lagi berorientasi identitas yang terkotak-kotak, sempit dan berbagai macam. Mereka telah menemukan ruang geraknya yang tanpa dinding. Mereka berorientasi kebenaran.

Inilah wawasan qur’ani atau tawaran nilai islami yang diberikan keoada dunia untuk menyongsong abad globalisasi yang sedang diideologisasikan oleh ummat manusia pada akhir zaman.

Bagi kalangan Sufi sejak abad ke IV hijriyah ide besar itu sudah tidak asing lagi. Secara pribadi mereka sudah berkondisi separti itu. Memang mereka lahir mendahului zaman. Oleh karena itu hidupnya  penuh dengan fitnah. Tidak dipahami oleh ummat manusia pada zamannya. Subhanallah!

Demikian pula yang dialami oleh Syaikhul ‘Arif Billah Muhyil millat waddin Ahmad Mutamakkin di wilayah Pati Utara [Cibolek dan Kajen]. Kebijakan beliau menggunakan Wayang Kulit sebagai mediom dakwah berhasil meluruskan ummat yang masih percaya kepada banyak dewa roh nenek-moyang. Beliau mengembalikan pemujaan sifat-sifat Tuhan yang imanen pada Para Brahman, Orang-orang Suci, dan kedua Orang Tua dalam melindungi keturunannya, kepada Zat Allah yang Tunggal dan Maha Wenang.sehingga menyandang predikat sebagai  Penebang Hutan Belantara dengan sebatang lidi.

Drama Wayang Kulit yang dipentaskan selalu dengan lakon Dewa Ruci. Sebuah perjalan Sang Bima di dalam mencari identitas dirinya yang final sebagai manifestasi Iradatullah di muka bumi. 

Atas wejangan Pandita Druna yang sangat dipercaya keotentikan informasinya Bima berangkat mencari samodra dimana Guru Sejatinya bersemayam [Dewa Ruci]. Samodera tsb. terbentang di balik sebuah hutan yang di huni oleh ampat orang Raksasa. Tak seorang pun dapat selamat melintasi hutan tersebut selain mereka yang dikaruniai kemauan yang keras dan tekad yang membaja. Tak terhitung jumlahnya para korban yang tewas dilahap oleh Sang Penunggu yang ganas dan perkasa.

Bila Sang Penempuh berhasil menundukkan ke ampat raksasa yang bersifat pantang menyerah seumur hidupnya, barulah ia sampai di tepi samodera yang tak berwatas itu. Sebuah samodra yang tak terukur kedalamannya dan dihuni oleh seekor Naga yang tak akan pernah mati dan tak dapat mati hingga kiyamat. Seekor Naga yang lebih tua umurnya dari manusia yang tak akan membiarkan semua yang lewat di depannya tanpa menjadi mangsanya. Bila Sang Bima dapat menundukkannya, Sang Guru

Jati akan mengenalkan dirinya kepadanya. Karena sesungguhnya Ia tak dapat dikenal oleh siapa pun tanpa Ia sendiri yang berkehendak mengenalkan diri. Ia bukan obyek pengenalan, tetapi Ia adalah satu-satunya Subyek Yang mengenal segala-galanya dan tak bisa dikenal. Ia Sang Hyang Wenang.

Demikian ringkasan lakon Dewa Ruci yang mengadaptasi kisah Isra’ dan Mi’rajnya Rasulullah Muhammad Saw.

Di dalam bertasawuf  K.H. Ahmad Mutamakkin lebih progresif dari Penyair Sufi Amir Hamzah yang bersinandung:

“Mangsa aku dalam cakar Mu

Bertukar tangkap dengan lepas”

Beliau mirip dengan Dr. Sir Muhammad Iqbal , Pujangga, Penyair Sufi dan Filosof dari Pakistan yang bersipongang: “Menangkap Garuda dalam sangkarnya”.

Sebagai penutup saya menghimbau kepada generasi penerus supaya jangan hanya mewarisi nama besar K.H. Ahmad Mutamakkin saja, tetapi sambutlah tongkat estafet yang diulurkan oleh tangan beliau sendiri kepada ummat yang ditinggalkannya. Seandainya beliau hidup di masa kini, tak pelak lagi beliau sudah Go International dengan gaya Dewa Rucinya dan meninggalkan kita jauh dibelakang sambil melemparkan senyum yang menghancurkan harga diri kita yang susah diajak mi’raj bersama.

Naskah saya tulis dengan rasa cinta pada generasi penerus citra K.H. Ahmad Mutamakkin.

Posting Komentar

0 Komentar