Akulah Surga

:: Muhammad Zuhri


Akulah Surga


Dari dalam ruang seminar 

di sebuah masjid dunia 

terdengar suara surga: 


- ‘Surga menetes dari darah dan keringat’ 

- ‘Surga meledak dengan granat jihad‘ 

- ‘Surga dzikir tanpa wasana‘ 

- ‘Surga napas petapa di gua‘ 


- ‘Surga eksplorasi di alam tinggi‘ 

- ‘Surga jungkir balik mencari arti‘ 

- ‘Surga banting-tulang dan kerja lembur‘ 

- ‘Surga hanya bagi yang tergusur‘ 


- ‘Surga itu Singgasana‘ 

- ‘Surga teler di kaki lima‘ 

- ‘Surga lonjakan rasa‘ 

- ‘Surga persepsi buta‘ 


Seorang peserta 

yang tenggelam dalam cinta-Nya 

merasa risih telinganya 

lalu berteriak sekuat tenaga: 


- ‘Ini Majelis Tinggi 

Jangan mengigau di siang hari 

Kalian sedang mimpi tentang neraka 

Lihat! Akulah surga!’ 


Barzakh, 1 Pebruari 1995. 


Cukup Bagiku Memandangnya 


di puncak bukit tak berwaktu ini 

aku tiada berdiri sendiri 

meski tanpa kawan mendampingi 


kokoh kakiku dalam sendiri karena Ia 

baja hatiku membelenggu waktu karena Ia 

wujudku semata hijab dari-Nya 


lihat, betapa panas wajahku 

memantulkan cahaya-Nya 

sidik mataku payah mencari yang singa 

hangat napasku hanya mau menyentuh yang Ia

 

dambaku kini tinggal wajah-Nya 

sasaran buruanku hanya wujud-Nya 

bila bersisa nama di bibirku kepunyaan-Nya 

hutan belantara yag kurambah cinta-Nya 


o, betapa semua selesai bersama-Nya 

dulu, kini dan yang akan datang panggung suci-Nya 

hingga tiada letih mataku menatap-Nya 

cukuplah bagiku memandang-Nya 

  

Barzakh, 29 Maret 1995. 


Dan Engkaulah Itu 


telah kudapatkan aroma paling mawar 

dalam perjalanan panjang melumpuhkan 

ketika angin jenuh menyentuh dedaunan 

- dan Engkaulah itu 

meski aku tahu Engkau bukan aroma 

dan bukan taman 


telah kutemukan cakrawala luas merentang 

tempat sukma bebas mengepak angan 

ketika hari hari letih berdendang 

- dan Engkaulah itu 

meski aku tahu Engkau bukan cakrawala 

bukan angan-angan 


telah kutatap senja dengan tata warna surga 

yang membuatku buta dari semua rona 

ketika matahari berlutut ke bumi 

- dan Engkaulah itu 

meski aku tahu Engkau bukan surga 

bukan pula rona 


telah kutemukan seorang kawan 

pendamping setia dalam perjalanan 

matanya lebih api dari matahari 

dadanya lebih salju dari tasbihku 

- dan Engkaulah itu 

meski aku tahu Engkau bukan seseorang 

dan bukan sesuatu 

  

Sekarjalak, 20 April 1995. 


Oktober 


I

malam ini langit bertanya kepada bumi:

- o kekasih, masih kau simpankah apiku?

- masih membarakah gunung-gunungmu?


dulu,

danau-danaumu sibuk melukis wajahku

hutan-hutanmu mendendangkan awan-gemawanku

dimana kini riak sungai dan debur gelombangmu?


pagi dan senja tanpa ratap ilalang dan satwa

bulan dan tahun rebah tanpa puisi cinta

angkasa melambung tanpa gema 'robbana'


ah, bila bumi dan langit pudar grafitasinya

matahari, bulan dan bintang

akan beristirahat dimana?


II

Kekasih,

sekali lagi bisikkan di telingaku

bumi masih hijau seperti dahulu

bagai permata zamrut menatap langit

membelah angkasa tak terhingga

dengan rahasia waktu yang digenggamnya


Kekasih,

katakan bumi masih sehangat yang dulu

dengan duka purba yang dikandungnya

mengabadikan senyum pada bunga

dan melepas aroma bagai cahaya

di dadanya rahasia  ' kun '

di wajahnya  'nur muhammad'


III

sudahkah kalian mendengar

suara adzan di kalbu malam

merayap pelan di persinggahan

menggetarkan pintu-pintu gerbang ?


sudahkah kalian saksikan

pusaran angin di pelataran

menabur debu di jalan-jalan

menghijab semua pandangan ?


cepat 

angkat tanganmu dan ucapkan :

- ' Allahu Akbar ! '

sebelum semua tenggelam

di dalam kilang daur ulang


lalu tajamkan mata

tatap matahari dan pusatkan !

tanyakan kepada langit

adakah dirimu orang yang disisakan ?


IV

bila tiba saat yang ditunggu

bila datang janji kelabu

semesta akan termangu

seribu oase lupa musyafir

angin bisu tersumbat debu dan pasir


oi langkah-langkah yang gemetar

o lorong-lorong yang tak sabar

angkat mukamu!

sebentar lagi langit akan menari

memutuskan grafitasinya dari bumi


semua angan-angan akan melimpah

'khatir'  dan  'siwa' akan menzarrah

saat penjuru angin merubah arah

luluh tubuh, lahar yang berdarah

remas tulang-tulang yang patah


wahai kekasih,

yuk kita menari !

di atas hari-hari penuh janji

dan dendangkan kepada semua

siapa sebenarnya pewaris tahta ?


V

bagi siapa yang tetap setia 

bersemayam di altar sujudnya

sendiri adalah jubah wujudnya


usah tanyakan kepadanya tentang  angin pagi

teriknya siang dan teduhnya senjakala

aroma zaman yang menyusun napas semesta

surga dan neraka bukanlah kendala

awal dan akhir hanya lenggangnya


diukir sang waktu di pilar mihrobnya

sekuntum mawar menangkap sang surya

embun yang gugur dari daun mahkotanya

membentang duka jauh tanpa muara


ketika tersingkap cadar birunya

rohnya bersinar memancarkan makna :

dukaku duka buana

pesonaku pesona cinta


dan ratapnya setiap pagi dan senja

tak tertanggung selaksa dewa :

kepada-Mu cuma !

untuk-Mu hanya !


muara, 25 oktober 1998

Posting Komentar

0 Komentar