Tidak Berhenti Sebagai Makhluk Hidup

[III]

BAGINDA MUHAMMAD pernah mengungkapkan bahwa orang yang tajam pikirannya akan menjalankan empat waktu istimewa, yaitu:

1. waktu untuk berhubungan dengan Tuhan

2. waktu untuk menguji diri sendiri

3. waktu untuk merenungi kegaiban karya Tuhan

4. waktu untuk berpuasa

Melihat hal itu, terang sudah bagaimana cara hidup abdi Tuhan yang setia. Dan Baginda Muhammad meneladankan bahwa acap tebersit kerinduan jiwa yang sedemikian besar sehingga membawanya begitu dekat dengan Tuhan, mengantarkannya untuk menemukan hubungan yang sangat erat.

Kadang-kadang ketakutannya akan hari kiamat, saat harus menghadap Tuhan untuk menerima pembalasan, membuatnya menghukum diri sendiri. Kadangkala lantaran kekaguman yang luar biasa terhadap ciptaan Tuhan, sang baginda pun mulai melihat kemegahan sang Pencipta memancar dari dalam karya-Nya itu. Tak ayal, sang Muhammad sering menghabiskan waktu untuk menemui Tuhan dalam kesendiriannya dikelilingi alam semesta.

Sebelum menerima wahyu, dunia ini dengan segala kekurangan dan keterbatasannya serasa tak memiliki makna buat dia. Tetapi setelah Tuhan menguraikannya bahwa di luar dunia ini ada dunia lain yang lebih sempurna dan abadi, yang merupakan tempat tinggal umat manusia yang sebenarnya kelak, kehidupan dan alam semesta memberikan arti lain bagi dia.

Alhasil, Muhammad mencapai tahap di mana ia bisa mendapat nafkah bagi batin dan hatinya. Ia menemukan dunia yang nyata di mana hati dan jiwanya mendapat kedamaian, sasaran akhir bagi seluruh harapan dan cita-citanya, pencapaian bagi akhir dia selama ini.

Hal ini bisa kita rasakan, tatkala baca sirah, sebagai tata cara kehidupan Baginda Muhammad yang sedianya kita teladani: bila engkau tidak mampu mengubah jalan hidup sendiri, maka engkau tidak akan mampu mengubah jalan hidup orang lain.

Ketika Muhammad telah menemukan kesejatian dunia baru, dunia abadi sesudah kehidupan dunia fana ini, ia menerapkan seluruh cara hidupnya ke dalam kesejatian dunia akhirat itu. Dia sendiri sangat mendambakan surga, tempat sebagaimana telah ia kabarkan kepada umatnya. Ia sangat takut pada neraka, hingga dia selalu mengingatkan umatnya untuk menjauhi.

Perhatian yang sedemikian besar pada alam kelak terus memancar dalam jiwanya. Kadangkala keprihatinannya terlontar dalam bentuk permohonan, kadang berupa kesedihan yang mendalam. Seperti, suatu hari, ia sedang di rumah bersama Ummu Salamah. Ia memanggil pelayannya, tapi setelah sekian lama pelayan itu belum datang-datang juga. Melihat suaminya mulai tampak marah, Ummu Salamah pergi ke jendela dan melihat pelayan itu sedang bermain-main. Ketika pelayan datang, Muhammad sedang memegang siwak, dan berkata, “Kalau bukan karena takut pada hukuman di akhirat kelak, sudah kupukul kau dengan ini!”

Itulah, betapa kehidupan di dunia ini adalah tempat atau masa persemaian benih untuk kehidupan di akhirat. Seyogianya kita bisa menyadari hal ini. Kita belajar membangun kesadaran bahwa kehidupan dunia harus diorientasikan untuk kehidupan di akhirat kelak. Kehidupan duniawi bukanlah tujuan akhir, ia hanya titik awal persiapan bagi kehidupan kelak. Kita mesti mengabdikan hidup sepenuhnya buat kehidupan akhirat. 

Betapa semestinya, reaksi kita atas segala situasi, mencerminkan sikap tersebut. Kita memandang setiap permasalahan hidup dari sudut pandang kehidupan akhirat, dan bagaimana dampaknya bagi kepentingan di akhirat.

Ya sungguh, dalam segala hal. Dalam kebahagiaan maupun kesengsaraan, dalam keberhasilan maupun kegagalan, ketika sedang berkuasa atau saat tertindas, manakala mendapat pujian atau sedang dicerca, dalam cinta maupun kemarahan, dalam keadaan apa pun, seorang hamba Tuhan selalu mengikuti tuntunan untuk mencapai kebahagiaan akhirat.

Pendek kata, di dalam pikiran para hamba Tuhan, terbentuk pola untuk selalu mempertimbangkan segala kegiatan guna mendapatkan kemaslahan akhirat. Kita semata tidak berhenti sebagai makhluk hidup. 

Demikian! []

Baca juga: Cara Hidup Muhammad   


Posting Komentar

0 Komentar