[II]
MUHAMMAD lahir di Arab-Saudi, 22 April 570. Dan ia wafat, 8 Juni 632. Dia sangat tampan dan tubuhnya tegap. Pada masa kecilnya sudah tampak tanda-tanda bahwa kelak ia akan memiliki kepribadian yang mulia dan dinamis.
Ketika tumbuh remaja, setiap orang yang memandang akan terkesan pada keagungan dan kepribadiannya. Kata-katanya sangat halus dan wataknya yang ramah membuat orang-orang yang dekat akan belajar mencintainya.
Usianya pun bertambah, dan kian dikenal sebagai orang yang sangat santun, penuh toleransi, dan sabar, serta dapat dipercaya. Ia adalah tetangga yang baik, selalu menghindari pertengkaran atau pun percekcokan. Dia tak pernah berpura-pura, dan tak sekali pun berkata penuh kebencian apalagi makian. Bahkan banyak kenalannya yang mempercayakan harta paling berharga di bawah pengawasannya.
Ketika mencapai usia 25 tahun, ia menikahi Khadijah. Pamannya, Abu Thalib, menyelenggarakan pesta pernikahan. “Tak ada seorang pun dapat dibandingkan dengan sepupu saya, Muhammad ibn Abdullah,” kata sang paman. “Tak seorang pun mampu mengungguli Muhammad, baik dalam keanggunannya, kesopanannya, kemasyhurannya, maupun kebjaksanaannya.”
Abu Thalib sama sekali tak menduga bahwa kata-katanya itu kelak terbukti benar. Padahal sang paman, semata-mata mengucapkan sebatas pengertian duniawi. Karena alam serasa telah menganugerahkan pribadi yang menarik dan cakap kepada Muhammad. Dan kaumnya sangat menyukai kelebihan itu sehingga mereka mengangkatnya ke kedudukan yang lebih tinggi.
Abu Thalib membayangkan keberhasilan dan pencapaian duniawi yang menguntungkan, yang akan diraih oleh sang keponakan. “Masa depan yang gemilang”, wejangannya pada pernikahan Muhammad.
Tak perlu diragukan, Muhammad memiliki kesempatan luas dan sangat terbuka lebar untuk memperoleh kehidupan duniawi yang melimpah. Ia dilahirkan dari keluarga ningrat di Makkah dan nama baik mereka merupakan jaminan untuk mencapai kehidupan yang nyaman. Memang, ayahnya hanya mewariskan seekor unta dan seorang budak. Tetapi, lantaran berasal dari keluarga terhormat, seorang janda kaya sangat terkesan kepadanya.
Alhasil, pernikahan Muhammad dengan Khadijah tidak saja menjadikannya kaya raya dan sebagai tuan tanah, juga membuka pintu usaha yang luas baginya di Makkah dan sekitarnya. Benar-benar, Muhammad memiliki kesempatan luas untuk mencapai sukses dan hidup penuh nyaman. Namun, ia mengabaikan semua kemudahan itu.
Sebelum menikah, Muhammad memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang berbeda. Setelah menikah, ia meninggalkan semua kegiatan kerja sebelumnya dan mencurahkan perhatian kepada kehidupan rohani, yakni mencari kebenaran.
Dia sering duduk berjam-jam sambil merenung memikirkan rahasia ciptaan Tuhan. Bukannya bersosialisasi mencari kedudukan di antara para penguasa, dan bangsawan Makkah, melainkan lebih suka berjalan-jalan di bukit-bukit dan lembah-lembah di gurun. Kadang-kadang ia beristirahat dalam keheningan di gua Hira (3 mil dari Makkah), dan akan tinggal di sana sampai persediaan makanan menipis, sudah tak ada lagi air minum.
Dia terus mencari Sang Maha Pencipta yang telah menciptakan surga dan dunia, mencari jawaban dan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepalanya. Apa peran kita yang sebenarnya di dunia ini? Apa yang diharapkan Tuhan dari kita sebagai abdi-Nya? Dari mana kita sebelum berada di dunia ini dan ke mana kita kelak sesudah tak ada di muka bumi? Karena tak mampu mendapatkan jawaban dari kegiatan sehari-hari, ia pergi ke dalam keheningan gurun pasir.
Tentu bukan suatu hal yang mudah bagi seorang pemuda yang tengah di puncak usia kejayaan hidup untuk melaksanan semua itu. Dia meninggalkan kehidupan duniawi yang penuh suka cita. Ia memilih jalan penuh rintangan dan kepedihan. Bahkan ia memiliki alat dan kesempatan untuk hidup nyaman, tetapi jiwanya yang bergolak tak dapat dipuaskan dengan segala kenyamanan dunia.
Jiwanya yang gundah tidak dapat beristirahat sebelum mengupas rahasia hidup. Dia terus mencari, menyelidiki rahasia di balik apa yang tampak, mencari kesejatian hidup. Dan pada akhirnya, Tuhan membebaskannya dari beban yang selama ini ditanggung. Tuhan menerangi jalannya, dan membimbing meniti jalan-Nya. Yakni, suatu malam pada 12 Februari 610, tengah duduk sendiri di dalam gua, tetiba malaikat muncul di hadapannya dalam bentuk manusia biasa dan mengajaknya membaca.
Pencarian sang Muhammad terjawab sudah. Jiwanya yang resah telah mampu berhubungan dengan Tuhannya. Dan Tuhan tidak hanya memberi bimbingan, tetapi telah memilihnya sebagai utusan-Nya, utusan yang istimewa di dunia. Misi Muhammad berlangsung hingga 23 tahun kemudian. Dan selama masa ini, seluruh isi Al-Qura’an diturunkan kepadanya.
Suatu pencapaian yang tidak didapat dengan hidup bersenang-senang dan penuh kenyamanan. Penemuan akan ketidakberdayaan di hadapan Tuhan. Sehingga, nyatalah bahwa kita sebagai hamba Tuhan tidak memiliki apa pun, tidak berhak apa pun atas dunia ini, kecuali tanggung jawab.
Dan Muhammad menerapkan ini sebagai panduan kita, para pengikutnya: (1) selalu takut pada Tuhan baik sedang sendiri maupun beramai-ramai, (2) berlaku adil, baik sedang marah atau tenang, (3) tidak bersikap berlebih-lebihan, baik ketika miskin maupun kaya, (4) akan selalu menggenggam tangan mereka yang menjauh darinya, (5) dan akan mengulurkan tangan bagi mereka yang ingkar, (6) mengampuni mereka yang telah berbuat salah padanya, (7) dan diamnya merupakan meditasinya, (8) dan kata-katanya hanyalah untuk mengingat Tuhan, (9) serta pandangannya semata penelitian yang tajam.
Demikian gambaran cara hidup Muhammad. []
Baca juga: Memuliakan Tuhan

0 Komentar