Begitu Agung Tak Tertandingi

[001]

DI TENGAH hamparan gurun pasir yang mengelilingi Makkah, Muhammad putra Abdullah tenggelam dalam renungan panjang. Di depannya berkeliaran domba-domba yang ia gembala dari orang Quraisy dengan upah beberapa dinar.

Ia melakukan itu demi meringankan beban pamannya, Abu Thalib, yang telah mengasuhnya. Muhammad ingin membantu memenuhi kebutuhan pokok keluarga besar pamannya itu.

Di usianya yang sangat dini, Muhammad telah menunjukkan kepedulian luar biasa kepada pamannya ini. Ia berharap dapat menanggung sedikit kesedihan sang paman, bukan malah menambahinya beban.

Muhammad lalu ingat masa lalunya. Pita kenangan berputar dalam ingatannya, dari yang terdahulu hingga yang terkini. Awal-awal masa kecilnya melintas di depan mata, membawa peristiwa beruntun yang sempat menggelisahkan jiwanya. Ia ingat ketika hidup di rumah Halimah, ibu yang menyusuinya. Dengan penuh riang ia jelajahi kemah demi kemah Bani Sa’d yang berdiri di atas hamparan pasir keemasan yang jernih dalam dekapan langit biru yang polos dan bersih.

Bahagia hati Muhammad tinggal di rumah Halimah. Ia berlarian mengitari rumah bersama saudara-saudara kecilnya, menikmati keriangan bersama mereka. Lebih-lebih bersama saudarinya yang lebih tua, Syaima’.

Seperti umumnya anak-anak, Muhammad sering menggoda Syaima’ dengan menyergapnya tiba-tiba, mencandainya, atau menggigit punggungnya dengan gigitan nakal. Sesekali juga terdengar gelak tawa atau teriak mereka lepas ke angkasa.

Muhammad tahu posisi dirinya di mata ibu susuannya, Halimah, dan suaminya. Mereka mencintai dan mencurahkan perhatian kepada dirinya melebihi kepada anak-anak kandung mereka sendiri. Dari sorot mata mereka Muhammad membaca lukisan cinta yang tak berhingga.

Terkenang kembali ketika terakhir kali Halimah membawa dirinya pulang ke rumah ayahnya di Makkah. Waktu itu usianya genap lima tahun. Sudah saatnya ia diserahkan kepada pengasuh baru yang akan mencurahkan segenap perhatian dan cinta kasih kepadanya. Kepada ibu asuhnya itu, Barakah, Halimah berpesan agar ia menggantikan tugas mengurusi segala keperluan Muhammad dan tidak meninggalkannya sejenak pun di siang hari.

Muhammad juga ingat saat menempuh perjalanan bersama ibunya. Sebuah perjalanan yang lekat terukir di sudut khayalnya, dan seolah tersaji setiap saat di depan mata. Sang ibu, Aminah, waktu itu sedang dalam perjalanan pulang ke Makkah sehabis mengunjungi paman-paman ayahnya, Bani Najjar, di Yatsrib. Tiba di Abwa’, beberapa kilometer sebelum Makkah, rombongan berhenti, karena melihat Aminah tampak begitu lemah. Kekuatannya seolah tumpah.

Muhammad melihat tetes-tetes air membulir dari kedua mata ibunya. Ia tahu air mata itu menyimpan sejuta makna. Ada perasaan asing hinggap di hatinya ketika sang ibu memeluknya tidak sebagaimana biasa. Sang ibu lalu menoleh ke arah Barakah. Ia titipkan si buah hati agar diasuhnya dengan sungguh-sungguh. Barakah pun menganggukkan kepala sebagai bukti penerimaan amanah agung yang harus ia tanggung.

Detik-detik itu begitu menyakitkan untuk dikenang. Ada rasa nyeri menggores hati. Terlihat oleh Muhammad mata kedua wanita yang ia cintai itu berlinang-linang. Ia tahu sebuah peristiwa besar tengah terjadi. Barakah tampak begitu terpukul. Ia tutupi wajah tenang wanita yang telah melahirkan anak asuhnya itu. Air mata meluap makin tak tertahan. Kemudian ia bangkit dan membimbing Muhammad menuju rombongan yang tengah menunggu. Keduanya disambut tanpa sepatah kata pun. Semua membisu. Semua bersedih. 

Kesedihan menggurat di wajah Muhammad. Betapa berduka ia menempuh usia perjalanan tanpa ditemani lagi seorang ibu. Barakah tahu itu, maka ia berusaha menghiburnya dan mengajaknya bercanda. Tetapi, Muhammad bergeming, wajahnya malah makin pasi. Dadanya terasa sesak duri derita. Ada sejuta tanda tanya timbul tenggelam di samudra jiwanya. Ingin semua itu ia tumpahkan kepada Barakah. Tetapi, lidahnya terasa kelu dan terkunci. Ia memilih membiarkan kesedihannya mengalir tanpa akhir dalam semesta diam. Ia tahu kini Barakahlah ibu sekaligus pelindung dirinya. Ia tahu kepadanya hidupnya bergantung, sebagaimana hidup Barakah pun bergantung padanya setelah menerima wasiat Aminah.

Tiba di Makkah, Muhammad langsung disambut kakeknya, Abdul Muthalib, dengan dekapan erat. Dari wajah lelaki yang sudah sakit-sakitan karena termakan usia itu, juga wajah para paman yang mengelilinginya, Muhammad menangkap sinyal keprihatinan dan belas kasih tertumpah padanya. 

Kali ini ia merasa pandangan mereka berbeda dari sebelumnya. Hati kecilnya berkata, pasti peristiwa besar tengah terjadi. Terbayang sesuatu luar biasa sedang menanti dalam hidup selanjutnya. Sesuatu yang sama sekali berbeda dengan urusan manusia pada umumnya.

Tetapi, kesedihan berangsur surut. Wajah muram dan tatapan asing mulai menyingkir. Ucapan hati-hati yang biasa ia dengar perlahan menghilang. Muhammad merasa hidupnya mulai tenang. Ia pun mulai terbiasa hidup tanpa seorang ibu, meski tidak berarti kehilangan cinta dan kasih sayang. Sebab, semua wanita di sekitarnya—istri semua pamannya, wanita-wanita sahabat ibunya, bahkan wanita asing yang tak ia kenal—memberinya curahan cinta dan perhatian lebih. Meski, ia menyadari hal itu tidak lantas memutus tali kenangannya pada sang ibu; wanita yang di matanya begitu agung tak tertandingi. 

Ya, Aminah. Putri Wahab ibn Abd Manaf, yang merupakan tokoh keluarga Zurah pada masanya. 

Demikian roman kenabian yang dituturkan Nizar Abazhah, sebuah romansa yang tak akan lekang oleh waktu. []

Ungaran, 4 November 2025

Posting Komentar

0 Komentar