Pokok Seruan

(14)

SEBELUM masuk ke respon pemuka-pemuka Quraisy, perlu dicatat tentang pokok seruan Baginda Muhammad Saw. kepada kaum Quraisy dan bangsa Arab pada umumnya. Dan tentu buat kita pula.

Ada tiga hal. Pertama, beliau menyeru hendaklah manusia berada dalam perikemanusiaan sejati. Tidak bertuhan selain kepada Tuhan Yang Maha Esa, Mahabesar, Mahakuasa, dan Maha dalam segala hal lainnya. 

Karena tak sepantasnyalah manusia bertuhan kepada batu, atau memuja berhala. Tak patut memuliakan gambar-gambar, atau menyembah tempat-tempat tertentu. Tak elok menganggap bahwa ada di antara sesama makhluk yang kuasa memberi keselamatan, dan sebagainya dan seterusnya.

Kedua, hendaklah manusia selalu memohon pertolongan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena sekali lagi, selain Dia tidak ada yang sanggup memberikan pertolongan. 

Konsekuensinya, hendaklah umat manusia (kita termasuk di dalamnya) tidak memohon kepada sesama makhluk, terutama memohon petunjuk, bahkan berobsesi mengandalkan nasib hidup. Hendaklah semua itu hanya kepada Allah Ta’ala semata.

Ketiga, hendaklah umat percaya kepada seruan beliau. Bahwa beliau benar-benar seorang nabi dan rasul Allah. Lantas, hendaklah umat mengikuti apa yang beliau serukan, guna meraih bahagia dunia dan akhirat.  

Nah, tiga hal tersebut yang beliau dakwahkan, baik saat periode sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Ketika memulai dakwah secara terang-terangan, beliau bikin pertemuan-pertemuan skala besar dengan mengumpulkan sanak kerabat. Pertemuan pertama kandas akibat ulah Abu Lahab.

Pada pertemuan kedua, hadir 45 orang. Mereka—termasuk Abu Lahab, tapi air mukanya terlihat merah menahan marah—tampak diam menyimak penuturan Baginda Nabi.

Namun, beberapa saat kemudian, sebagian yang hadir mulai bergerak meninggalkan tempat. Tinggal sebagian kecil yang masih bertahan. Dan anehnya, Abu Lahab termasuk yang masih bertahan.

Tapi tiba-tiba Abu Lahab kambuh. Ia berulah lagi. Ia berseru lantang, “Hai orang-orang Bani Abdul Muthalib! Demi Latta dan Uzza, sungguh Muhammad itu jahat. Tangkap saja dia! Orang muda ini telah berubah ingatan. Ia ingin membelokkan arah sandaran kita….”

Shafiyyah binti Abdul Muthalib, saudara perempuan Abu Lahab, menegurnya. 

“Apakah pantas sangkaanmu itu, Saudaraku?” katanya. “Demi Allah, bukankah para tetua agama dulu telah mengabarkan bahwa dari keturunan Abdul Muthalib akan ada yang berpangkat nabi dan rasul Allah? Dan ternyata Muhammadlah orangnya.”

Abu Lahab bukannya reda, malah makin menjadi-jadi. Ia menuding Shafiyyah, “Demi Latta dan Uzza. Itu dusta. Itu cerita kosong. Itu dongengan kaum perempuan yang hanya bisa sembunyi di balik tempat tidur. Mending kita tangkap saja Muhammad, sebelum seluruh Quraisy bersatu menggempur kita, akibat seruannya. Apa daya kita jika itu terjadi! Apa kekuatan Muhammad? Apa daya Muhammad melawan bangsa Quraisy?”

“Demi Allah. Sungguh akulah yang bakal melindunginya selama aku masih hidup.” Tukas Abu Thalib.

Mendengar Abu Thalib berkata singkat, padat, Abu Lahab sesaat diam. Ia tak berkata lagi. Namun, pertemuan telanjur kacau akibat ulahnya yang memicu perbantahan antarsaudara. Baginda Muhammad, sebagaimana pada pertemuan pertama, merasa perlu membubarkan pertemuan ini. Paling tidak, pada pertemuan kedua beliau berhasil menyematkan tiga hal pokok tersebut di benak orang-orang di kalangan Bani Abdul Muthalib, Bani Hasyim, dan seterusnya.

Alhasil, sesudah pertemuan di kaki bukit Shafa itu, meski jelas sekali beliau bersusah payah, makin hari kian didengar orang. Makin lama kian bertambahlah yang memercayai beliau. Sehingga, makin bertambah banyaklah yang mengikuti. Satu demi satu, makin banyak yang menyokong dan menguatkan. 

Demikian itu pokok seruan Baginda Muhammad. []

Baca juga: Sebagian Khotbah

Posting Komentar

0 Komentar