Ulama Wanita Pertama

SEWAKTU Muhammad memakamkan dan berkabung atas kepergian Khadijah, ia tampak tak berpikir akan menikah lagi. 

Hal itu terbaca, sebegitu lamanya Muhammad menduda setelah kepulangan Khadijah. Hidupnya bak mengalir dalam arus kenangan cinta Khadijah yang sungguh memesona itu.

Betapa pun kemudian dia menikah lagi, tetap saja dia tak sanggup menyandingkan kualitas cinta seperti yang dipersembahkan Khadijah. 

Para sahabat senior prihatin membayangkan kehidupan keluarga sang nabi. Bagaimanapun Muhammad adalah seorang nabi, yang mesti menjalankan misi risalah, sehingga kehadiran istri akan meringankan beban di rumah tangganya.

Apalagi memang, rumah Nabi ini sesungguhnya tidak berbeda dengan rumah manusia pada umumnya. Muhammad kerap menandaskan bahwa dirinya tetaplah manusia biasa. Kehadiran pasangan hidup mutlak diperlukan untuk menjaga keseimbangan keluarga. 

Dari situlah, para sahabat dan kerabat dekatnya, terlebih melihat bungsu Nabi saat itu masih butuh sosok ibu yang merawat dan mengasuh. 

Kemudian datanglah tawaran dari kerabatnya, Khaulah binti Hakim, kepada Muhammad agar berkenan menikahi Saudah binti Zam’ah, sekaligus melamar Aisyah putri Abu Bakar.

Nah, dari situ pula, ternyata tidak banyak orang di Arab saat itu, yang memandang monogami Muhammad dengan Khadijah sebagai norma yang sangat baik. Pada masa itu, banyaknya istri, apalagi pada diri seorang pemimpin atau pemuka agama, dianggap sebagai norma. Sebagai tradisi yang normal. Kebiasaan yang wajar saja.

Dalam kisah-kisah, kita dapati bagaimana seorang Daud atau Sulaiman, yang sebegitu banyak istri, baik dewasa maupun kecil. Baik perawan atau bahkan masih milik orang lain. Sehingga, jelas bahwa istri-istri yang kemudian mendampngi Muhammad sungguh tak seberapa dibanding dengan raja-raja atau pun para pemuka agama di belahan mana pun. 

Tetapi aneh bin ironi, oleh para cendekia hari ini, seolah kewajaran tempo itu tidak berlaku untuk Muhammad. Dalam pernikahannya dengan Aisyah, misalnya, para cerdik pandai produk modern ini hanya berpaku pada ungkapan Aisyah, “Rasulullah menikahiku ketika aku berumur enam tahun dan kemudian hidup bersamaku ketika aku berusia sembilan tahun.”

Pernikahan yang memicu spekulasi dan penuh prasangka. Kacamata modern disebutnya sebagai pernikahan di bawah umur. Termasuk pernikahannya dengan lebih dari empat istri. Padahal, tidak ada yang tak pantas kalau kita baca sejarah. Kita ketahui kemudian bahwa usia Aisyah saat berumah tangga dengan sang Baginda adalah 14 atau 15 tahun. Itu pula yang terjadi dengan Khadijah, yang ternyata baru berusia 28 tahun, bukan 40 tahun.  

Padahal di Eropa atau di tanah Jawa ini hingga awal modern, sudah jamak ikatan pernikahan terhadap bahkan lebih muda daripada Aisyah. Sementara Muhammad, saat itu, pada tahun 620, hanya melakukan akad nikah dengan Aisyah. Baru sebuah ikatan pertalian. 

Baru berikutnya, setelah Aisya meraih pubertas, ketika sudah semestinya menikah seperti gadis-gadis lain, ia menetap bersama sebagai suami-istri. Mereka bersama setelah tahun kedua di Madinah, tahun 624.

Walau para ahli sejarah masih memperdebatkan soal umur Aisyah. Mohamad Jebara termasuk yang menolak bahwa Aisyah masih berusia belia. Ia menyebutkan Aisyah telah berumur 29 tahun ketika dinikahi Baginda Nabi. Tapi saya, merujuk penjelasan Abbas Mahmud Al-Aqqad, yakin dengan dengan pendapat bahwa Aisyah berumur 14 atau 15 tahun.

Saat itu, Abu Bakar gembira karena akhirnya putrinya menikah dengan sang Baginda. Tidak jadi dengan Jabir bin Muth'im yang masih memeluk kepercayaan kafir Quraisy. 

Namun demikian, saya terkenang terus dengan kisah cinta Muhammad terhadap Khadijah yang tak kunjung padam itu. Bahkan hingga bertahun-tahun kemudian, Aisyah, istri yang memang berperangai mandiri, paling muda, dan paling banyak bicara di antara kesembilan istrinya kelak, “Aku tak pernah merasa cemburu terhadap istri-istri Rasulullah yang lain kecuali Khadijah, meskipun aku datang setelah kematiannya.”

Dengan menggoda, Aisyah kelak bertanya, bagaimana bisa sedemikian setia padahal sudah meninggal dunia. “Ia telah diganti Allah dengan yang lebih baik,” tutur Aisyah.

Dan Muhammad pun akan menegaskan hal itu sejelas-jelasnya kepada Aisyah, “Memang tidak, Allah tidak menggantinya dengan yang lebih baik.”

Tetapi, tetaplah dalam sirah-sirah bahwa keberadaan Aisyah di samping Muhammad sangat berarti. Ia lahir murni dari buaian ajaran Muhammad. Berbeda dengan masa Khadijah di mana Muhammad masih berada dalam peralihan dari seorang biasa menjadi seorang nabi, dan kemudian rasul.

Sehingga Aisyah benar-benar murni mereguk Islam dari dini sekaligus dari sumber mata air langsung. Tak anehlah kemudian, Aisyah sangat berperan dalam dunia keilmuan Islam. Ia adalah ulama wanita pertama.

Sepeninggal Nabi, para sahabat akan mendatangi Aisyah untuk berkonsultasi, atau meminta pandangan, atau meminta ketetapan hukum. Aisyah adalah wanita Arab yang paling fasih pada masanya. 

Berkat Aisyah pula, terlukis begitu gamblang bahwa ajaran dari suaminya itu telah mengangkat derajat kaum perempuan. Tersebut, suatu ketika ada seseorang mengatakan bahwa salat tidak dapat dibatalkan kecuali karena tiga perkara, yaitu adanya anjing, keledai, dan wanita.

Aisyah murka, dan mengingkarinya dengan tegas, “Atas dasar apa kalian menyamakan kami dengan keledai dan anjing?”

Ia melanjutkan, “Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah Saw. salat tahajud dan aku telentang antara posisi beliau dan kiblat. Kakiku melintang di hadapannya, maka beliau mengangkat dan memindahkan kakiku dan aku pun menarik kakiku.” 

Demikian Sayyidah Aisyah, ulama wanita pertama yang lahir dari ajaran langsung sang Baginda Rasul. []

Ungaran, 5 Oktober 2025

Baca juga: Salam Perpisahan

Posting Komentar

0 Komentar