SEBELUM menikahi Aisyah, lebih dulu Baginda Muhammad menikah dengan Saudah, yaitu pada tahun kesepuluh kenabian, atau tiga tahun sebelum menikahi Aisyah.
Nizar Abazhah menuturkan bahwa Khaulah binti Hakim, kerabat Nabi, dan teman dekat Saudah sewaktu hijrah ke Abyssinia, menawari Muhammad untuk meminang Aisyah dan menikahi Saudah.
Khaulah merasa iba melihat Muhammad hidup sendiri semenjak ditinggal Khadijah. Khaulah tak tahan mendengar Muhammad disakiti oleh penduduk Thaif. Di sana sampai-sampai Sang Nabi beramai-ramai dikejar dan dilempari batu justru oleh para budak dan anak-anak yang seumur-umur dibelanya.
Saudah binti Zam’ah sendiri adalah janda yang hidup menderita karena ditinggal mati suaminya. Saudah merasakan pahit getirnya hijrah ke Habasyah. Dan Muhammad menerima permintaan Khaulah, demi turut meringankan penderitaan Saudah.
Menjadi bagian keluarga Nabi, Saudah memperoleh curahan cinta kasih yang tak terkira. Berangsur-angsur beban hidup Saudah surut, beralih penuh riang bahagia. Ia turut mengasuh Fathimah, putri bungsu Nabi. Ia sungguh merasakan kebahagiaan sebab menjadi istri seorang laki-laki yang sangat dihormati.
Setelah tiga tahun usia pernikahan itu, setelah menetap di bilik sederhana di sisi Masjid di Madinah, kemudian masuklah Aisyah. Saudah berbagi waktu dengan Aisyah dalam melayani Baginda Muhammad.
Aisyah sewaktu masih di Makkah sekadar dipinang, lalu ditunggu sampai ia dewasa dan siap berumah tangga. Dan di Madinah itulah, tepatnya pada bulan Syawal/April tahun 624, setelah Perang Badar, Aisyah menjadi pendamping hidup Muhammad.
Kita tahu, Perang Badar terjadi pada 17 Ramadan 2 H/15 Maret 624 M. Nah, Aisya binti Abu Bakar adalah satu-satunya istri Muhammad yang perawan. Aisyah yang memasuki bilik bersahaja tapi kukuh di sisi Masjid Nabawi, baru saja meninggalkan masa kanak-kanak (ini pendapat yang lebih akurat dan logis, putri Abu Bakar telah berumur 14 atau 15 tahun tatkala dinikahi Muhammad).
Dan Muhammad tidak canggung menghadapi istri mudanya ini, yang berwatak keras kepala, kerap berbicara dengan nada tinggi, dan banyak mengajukan tuntutan. Orangtuanya, baik Abu Bakar maupun Ummu Ruman, menganggap tingkah Aisyah kepada Muhammad itu kelewatan, baik sebagai suami atau apalagi sebagai nabi. Abu Bakar yang tidak tahan kerap menegur Aisyah agar berlaku sopan layaknya istri seorang manusia utama. Tak kurang Ummu Ruman juga menghardik putrinya supaya bisa membawa diri sebagai maharani Madinah.
Tapi Muhammad tetap memberi Aisyah cinta, kasih sayang, dan kelembutan melebihi yang didapat dari Abu Bakar dan Ummu Ruman. Bahkan beberapa kali, Muhammad harus menengahi pertengkaran antara istrinya ini dengan Abu Bakar, yang berniat menghukum putrinya akibat perilakunya kepada Muhammad. Setelah Abu Bakar pulang, Muhammad mengecup kening Aisyah dan berkata, “Kau lihat tadi bagaimana aku membelamu dari ayahmu!”
Benar-benar, Muhammad tidak sekali pun melarang Aisyah berteriak-teriak girang, lantang, atau berbicara kritis khas seorang yang tahu kedudukannya sebagai yang dicintai, dihormati, dan dimuliakan. Muhammad tak pernah meletakkan tangan ke mulut Aisyah, mencegahnya berbicara, atau membantah, atau marah.
Muhammad sama sekali tak menuntut agar Aisyah menyelaraskan diri dengan seleranya. Justru sebaliknya, Baginda Nabi yang beradaptasi dengan kemanjaan Aisyah. Jabir bertutur, sebagaimana disampaikan Nizar Abazhah, “Rasulullah itu pria gampangan, jika Aisyah ada maunya, beliau menurutinya.”
Jadi, Muhammad yang telah melewati fase muda, membiarkan Aisyah bertumbuh natural. Muhammad memberi kebebasan kepada Aisyah. Dan ternyata, Aisyah kemudian tumbuh makin dewasa dan kian matang. Aisyah teramat berdaya sebagai remaja putri yang berwatak periang, mandiri, dan tahan banting.
Mereka tinggal di bilik yang sangat sederhana, tanpa perabotan memadai. Kasur yang mereka gunakan pun hanyalah kulit binatang yang dijejali kain perca.
Dan memang, secara umum kehidupan sehari-hari di Madinah saat itu berlangsung sederhana. Sederhana dalam segala hal. Karena, masyarakat Islam yang dibentuk di Madinah ini berlangsung pada masa-masa sulit dan kritis.
Lima tahun lebih Nabi bekerja keras membentuk masyarakat Madinah agar kondusif, harmonis, dan kompak. Dan Aisyah yang terdidik langsung menghirup atmosfer keagungan Nabi, sanggup menyelaraskan diri dengan kerja keras suaminya mengatur Madinah.
Dari situ terjawablah tuduhan kaum modern, Nabi telah mengeksploitasi gadis di bawah umur itu salah besar. Toh nyatanya, Aisyah justru tumbuh dan berkembang menjadi wanita yang paling bahagia di Madinah. Aisyah menjalani bahtera rumah tangga serasa berornamen surgawi di sisi Muhammad.
Tuduhan yang salah alamat, jelas Said Ramadhan Al-Buthi. Sebab Muhammad menikah dengan Aisyah, dan sebelumnya telah menikahi Saudah, itu bukan inisiatif Muhammad sendiri, melainkan permintaan Khaulah.
Khaulah yang menawarkan sosok Aisyah, dan kemudian ia pun bersungguh-sungguh melamarkannya. Abu Bakar tanpa ragu menerima lamaran tersebut. Dan, para tetua Makkah yang sangat sengit memusuhi Muhammad, tak meributkan pernikahannya dengan Aisyah.
Malahan Aisyah berkali-kali menyatakan, dirinya adalah wanita paling beruntung dan paling berbahagia, karena diperistri oleh seorang utusan Tuhan. Lebih-lebih ia dan keluarganya memang pengikut Muhammad yang berada di barisan terdepan yang meyakini kerasulan Muhammad.
Demikian Aisyah. Ia sedemikian mencintai suaminya. Ia menggambarkan Muhammad sebagai kekasih “sangat penyayang” yang “tidur memeluknya di bawah sehelai selimut” dan seorang pria romantis yang “mendekatkan cangkir ke bibirku agar aku minum, lalu memutar cangkir itu dan menempatkan bibirnya di bekas bibirku”.
Begitulah Aisyah, sang maharani Madinah!
Ungaran, 6 Oktober 2025
Baca juga: Ulama Wanita Pertama

0 Komentar