Duta Baginda Nabi

MASIH berkenaan dengan sang maharani Madinah. Ya, Sayyida Aisya merasa begitu cemburu dan dia menyadari bahwa kecemburuannya adalah kecemburuan seorang istri kepada suaminya. 

Nah, suatu ketika, Baginda Nabi keluar di malam hari. Saat itu tiba giliran beliau menginap di rumah Aisya. Maka, Aisya pun segera membuntuti beliau dari belakang, karena mengira beliau akan pergi secara diam-diam dari istrinya yang satu ke istrinya yang lain. 

Namun ternyata, di malam itu beliau pergi ke pemakaman untuk mendoakan para syuhada. Beliau memohonkan ampunan untuk mereka. 

Lalu Aisya kembali ke rumah dan bergumam kepada diri sendiri, “Demi ayah dan ibumu, ternyata engkau lebih mengutamakan urusan Tuhanmu. Sementara aku lebih mengutamakan urusan duniawi!”

Sayyida Aisya merasa bersalah. Ia salah duga terhadap suaminya. Maka, ketika Baginda Nabi tiba di rumah, beliau memandang penuh keheranan kepada istrinya itu. 

“Ada apa denganmu, Duhai Humayra?”

“Demi ayah dan ibumu. Engkau akan datang kepadaku. Lalu kuletakkan pakaianmu. Terus aku merasakan kedinginan. Aku pun berdiri dan memakai pakaianmu, rangkap dengan pakaianku. Sungguh, engkau telah membuatku begitu cemburu. Aku mengira, engkau akan pergi menemui istri-istrimu yang lain, tapi ternyata…” jawab Aisya.

Saat Baginda Nabi keluar lagi di malam lainnya, lalu kembali dan Aisya masih bersikap seperti malam sebelumnya, cemburu tak menentu, beliau seraya mengumbar senyum berujar, “Apakah engkau masih cemburu, Wahai Aisya?”

“Kalau aku melakukan apa yang kau lakukan, apakah kau tidak akan cemburu?” tanya balik Aisya.

“Sungguh telah datang syetan dalam dirimu!” jawab suaminya.

Demikianlah Sayyida Aisya. Ia hadir mendampingi beliau, seolah melanjutkan apa yang telah diperoleh beliau dari Sayyida Khadija sebelumnya.

Kita paham, Khadija adalah istri yang paling beliau cintai di antara istri-istrinya. Baginda Rasul hidup bersama Khadija selama 25 tahun. Sebelumnya beliau belum pernah menikah dan tidak pernah terpikir untuk menikah dengan wanita lain selain Khadija. Waktu menikah dengan Nabi, berdasar pendapat yang lebih akurat, Khadija telah berusia 28 tahun dan mendampingi beliau hingga tutup usia pada umur 50-an tahun, atau bisa dibilang 53 tahun.

Beberapa tahun setelahnya, Baginda Nabi pun menikahi Sayyida Aisya. Dan kita bisa memetik hikmah, yakni, tatkala beliau menikahi Sayyida Khadija adalah laksana jawaban dari kebutuhan psikologis Baginda Muhammad. Beliau, yang nota bene anak yatim piatu, yang tidak mendapatkan belaian kasih sayang secara utuh sejak masa kanak-kanaknya, kemudian memperoleh curahan dari seorang istri yang mulia dan berhati lurus seperti Sayyida Khadija.

Betapa Sayyida Khadija telah memberikan belaian kasih sayangnya secara menyeluruh kepada Baginda Nabi, di mana hal itu tidak beliau dapatkan di masa kanak-kanaknya. Khadija senantiasa menjadi obat penyejuk jiwa beliau, di mana situasi dan kondisi dalam keadaan serba tak menentu. Khadija menjadi obat pelipur lara beliau dari segala tantangan dakwah kenabian yang selalu bergejolak tak berkesudahan.

Nah keadaan tak menentu yang dialami Baginda Nabi ini, kadang nampak terang, kadang nampak suram, jelas-jelas memerlukan perhatian dan dorongan yang lebih serius dari istrinya. Dengan demikian keadaan akan tetap konstan, terpelihara dan penuh keberanian menghadapi segala tantangan yang menghalang.

Hingga Baginda Nabi genap berusia 50 tahun. Selama itu pula, beliau merasakan suatu keberuntungan dan kebahagiaan hati yang didapatkan dari istrinya. Sebab Khadija tampil bak seorang ibu yang senantiasa memberi ketenangan. 

Pendeknya, Khadija telah mendampingi Baginda Muhammad sebelum masa dakwah kenabian, yang memberinya ketegaran hati, sebelum menghadapi medan laga yang penuh marabahaya, onak dan duri.   

Lalu hadirlah Sayyida Aisya yang mendampingi beliau pada masa paska permulaan dakwah kenabian. Aisya menemani beliau di saat dakwah kenabian berada dalam fase terang-terangan dan penuh dengan pergolakan. Dia merupakan seorang duta pertama Baginda Nabi yang berjuang melawan dominasi kaum lelaki Arab, serta menjadi pusat komando dalam pergaulan dan dalam lingkungan rumah tangga, bahkan hingga jauh sesudah Baginda pulang ke haribaan-Nya. Sayyida Aisya hidup setelah Nabi selama 46 tahun, atau ia tutup usia 70 tahun. 

Sebelumnya, saat Baginda Nabi hendak membina bahtera rumah tangga bersama Aisya, ternyata Aisya telah dilamar oleh Jabir bin Muth’im bin ‘Adiy. Dan Abu Bakar bukanlah seorang yang ingkar janji. Sebelum menjawab lamaran Baginda Nabi lewat Khaulah binti Hakim, ia menemui kedua orangtua Jabir guna memastikan status putrinya.

Lalu ayah Jabir berkata kepada istrinya, “Bagaimana pendapatmu?”

Ibu Jabir menjawab sembari menoleh kepada Abu Bakar, “Sebenarnya kami merasa khawatir, jika kami menikahkan anak kami dengan anakmu. Pastinya, anak kami akan keluar dari agamanya dan masuk ke agamamu seperti yang kau kehendaki terhadap dirinya.”

“Lalu?” tanya Abu Bakar.

“Ya, istriku telah mengatakan seperti apa yang engkau dengar. Meski aku tidak suka, tapi keinginan istriku itu pula yang jadi keputusanku.” Jawab Muth’im.

Akhirnya suatu hari, Abu Bakar mengumumkan telah memutuskan untuk membatalkan perjanjiannya dengan Muth’im bin ‘Adiy. Abu Bakar pun menerima lamaran Nabi Saw. Lamaran tersebut berlangsung pada bulan Syawal tahun ke-10 dari masa dakwah kenabian, atau tiga tahun sebelum hijrah.

Adapun mengenai usia Sayyida Aisya, telah terjadi perbedaan pendapat. Ibnu Sa’ad, berdasar pendapat yang masyhur, mengatakan enam atau tujuh tahun. Tapi pendapat ini tak sejalan dengan realita, bahwa Sayyida Aisya pernah mengajukan usulan kepada Baginda Nabi untuk menikah pada saat dia telah mencapai usia matang. Sehingga, merupakan suatu yang tak masuk akal jika Aisya dapat menentukan perasaan pribadinya selagi masih berusia enam atau tujuh tahun. 

Di samping itu, fakta pula bahwa Sayyida Aisya telah dilamar oleh lelaki lain sebelum dinikahi Baginda Nabi. Adapun lamaran Nabi baru dilakukan sekitar tahun kesepuluh setelah masa dakwah kenabian.

Di sisi lain, telah terjadi perjanjian pelamaran Aisya, yang disepakati oleh kedua keluarga. Oleh karena itu, bila Abu Bakar mengikat perjanjian dengan keluarga Muth’im sebelum dia masuk Islam, berarti Sayyida Aisya dilahirkan sebelum masa dakwah Islamiah. Sehingga jelas, dalam hal ini saya cenderung pada pendapat bahwa Sayyida Aisya menikah dengan Baginda ketika ia berusia 14 atau 15 tahun. 

“Saat itu aku adalah seorang gadis yang berusia muda,” ungkap Aisya saat tiba masa pernikahannya dengan Baginda Muhammad. Hal ini juga menepis paparan Jebara bahwa Aisya telah berusia 29 tahun ketika menikah dengan Nabi. 

“Saya tidak melihat cela apa pun pada dirinya (maksudnya Aisya), kecuali bahwa dia seorang gadis kecil yang meremas-remas adonan tepung, lalu dia menjaga makanannya, terus ketiduran, ….” Jelas Barirah, pembantu Aisya dalam bahtera kehidupan Baginda Nabi.

Terlepas soal usia, yang pasti Sayyida Aisya merupakan duta bagi beliau Baginda Rasulullah, terutama terhadap hal-hal pelik yang tak sangggup diatasi kaum laki-laki. Pernah suatu hari, Asma binti Syakli, salah seorang wanita Anshar berkonsultasi kepada Nabi, “Bagaimana caranya membersihkan darah haid?”

“Ambillah alat pembersih seperlunya, terus bersihkan sebanyak tiga kali.” Jelas Baginda Nabi.

“Bagaimana cara membersihkannya?” desak Asma.

“Mahasuci Allah, engkau bersihkan saja dengannya,” jawab beliau seraya mengisyaratkan Aisya.

Aisya yang berada di samping Nabi, langsung menarik tangan wanita tersebut, dan memberitahukan cara membersihkannya secara detail.

Demikian…!

Ungaran, 10 Oktober 2025 

Baca juga: Kecemburuan Sayyida Aisya

Posting Komentar

0 Komentar