(11)
BAGINDA MUHAMMAD begitu kepayahan ketika menerima wahyu Ilahi. Dan hal itu, bukan hanya sekali akibat kali pertama menerima wahyu. Selanjutnya pun, setiap wahyu diturunkan, beliau merasa sangat berat, sehingga berasa sangat payah.
Bahkan, ada yang beratnya melebihi penurunan wahyu lainnya. “Ketika wahyu diturunkan kepadaku, aku menyangka bahwa jiwaku sedang dicabut.” (HR Ahmad)
Dalam riwayat lain, “Telah berkata Ubadah bin Shamit, ‘Adalah Nabi Saw. ketika wahyu diturunkan, tampaklah sengsaranya, berubah air muka saking beratnya.” (HR Muslim)
Sayyidah Aisyah juga bersaksi, “Sesungguhnya saya melihat Nabi Saw. saat turun wahyu pada suatu hari yang sangat dingin, dahi beliau tampak mengucurkan keringat.” (HR. Bukhari)
“Telah berkata Zaid bin Tsabit, ‘Adalah Rasulullah Saw. ketika wahyu diturunkan, beratlah karena itu dan berteteslah keringat dari tepi dahinya, seakan-akan intan, sekalipun pada waktu dingin.” (HR Ath-Thabari)
Atau riwayat, saat sang Baginda di atas punggung unta, tiba-tiba kendaraan tunggangan itu jatuh terduduk di tanah. Ternyata, beliau sedang menerima wahyu. Dan binatang tunggangannya merasa keberatan hingga terduduk.
Nah, dari hadits atau riwayat-riwayat tersebut, dan hadits-hadits lain yang tak disebutkan di sini, nyatalah bahwa keadaan Nabi Saw. ketika menerima wahyu sangat payah dan membebankan perasaan yang sedemikian berat. Perasaan seperti itu, tidak hanya ketika menerima wahyu yang pertama, tetapi setiap kali menerimanya.
Hanya saja pada waktu menerima wahyu yang pertama, beliau sedang tidur nyenyak dan seorang diri di dalam gua pada tengah malam yang gelap. Apalagi belum pernah kenal Jibril, dan lebih-lebih beliau didekap sangat erat, sehingga timbul ketakutan yang amat sangat. Hati berdebar-debar dan seluruh tubuh beliau gemetar.
Kemudian, saat Baginda Nabi menerima wahyu kedua, ketiga, dan disusul yang keempat setelah jeda kurang lebih tiga tahun, yang berarti juga beliau telah ditetapkan menjadi Rasul Allah, pada hati beliau pun masih timbul perasaan terkejut dan takut. Tubuh beliau gemetar, payah, serta perasaan lain seperti saat pertama kali. Dan Khadijah paham betul keadaan suaminya ini. Ia sigap menenangkan.
Lalu wahyu berturut-turut diturunkan kepada beliau. Adapun turunnya dan banyaknya ayat tidak tentu. Adakalanya wahyu turun saat beliau di rumah. Kadang-kadang sedang di luar rumah. Kadang siang, kadang malam, dan seterusnya. Tentang jumlah, kadang satu ayat saja, dua ayat, sepuluh ayat, dan kadang satu surah, juga kadang satu surah pendek diturunkan berkali-kali, dan seterusnya.
Mengenai cara penyampaian, Allah Ta’ala menerangkan, pertama, “Kami akan bacakan Al-Qur’an kepadamu (Muhammad) agar engkau tidak lupa.” (Al-A’la: 6)
Ayat tersebut bukti, bahwa kemampuan membaca Baginda Muhammad Saw. adalah dengan hafalan, yang berkat karunia-Nya, beliau tidak lupa selama-lamanya akan wahyu (ayat-ayat) yang diterima. Sehingga, bacaan beliau itu tidak lain adalah hafalan belaka.
Tentang kemampuan ini, saya perlu mengingatkan, mengutip pendapat Prof. Quraish Shihab, ada nilai-nilai yang bersifat universal dan langgeng, ada juga yang lokal dan berubah-ubah. Sehingga, keliru jika menjadikan nilai lokal suatu masyarakat menjadi tolok ukur kebaikan atau keburukan bagi masyarakat lain, lebih-lebih dalam era yang jauh berbeda.
Kebersihan, keluhuran budi, dan penghormatan kepada sesama adalah nilai universal dan langgeng, kapan dan di mana saja, tetapi cara penghormatan dapat berbeda-beda. Pun dengan berpengetahuan juga merupakan nilai universal yang dijunjung tinggi oleh semua orang kapan dan di mana pun, tetapi bidang pengetahuan yang disukai dan dinilai berharga berbeda antara satu era dengan era lain.
Pada masa jahiliah, karena sulitnya alat tulis-menulis, maka kemampuan menghafal sangat diandalkan dan menjadi tolok ukur keluasan pengetahuan, dan karena itu mereka menilai siapa yang pandai menulis adalah orang yang lemah ingatannya, dan indikator bahwa ia tak memiliki pengetahuan yang banyak.
Itulah, sehingga keadaan Baginda Muhammad yang ummi, tidak dapat membaca dan menulis, jelas bukan sebagai kekurangan beliau, justru kelebihan. Sama persis hari ini, tolok ukur “buta huruf” bukan lagi ketidakpandaian membaca dan menulis salah satu aksara, tetapi ketidakcanggihan menggunakan komputer, mengelola AI, dan sebagainya.
Dan sebelumnya, sudah disebutkan bahwa kemampuan membaca Baginda Muhammad bukan membaca dengan tulisan, melainkan membaca dengan hafalan. Maka, jangan dibayangkan ketika sang Baginda menerima wahyu pertama kali di gua Hira, Malaikat Jibril datang dengan membawa sehelai kain bertuliskan lima ayat surah Al-‘Alaq.
Kedua, “Janganlah kamu gerakkan lidahmu Muhammad dalam membaca Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya. Kamilah yang akan mengumpulkan dan Kami akan membacakannya. Bila Kami telah membacakan ikutilah bacaannya. Kemudian tanggungan Kami pulalah yang akan menjelaskannya.” (Al-Qiyamah: 16-19)
Sebelum wahyu itu turun, setiap kali Jibril datang menyampaikan wahyu, Baginda Nabi selalu menggerak-gerakkan lisannya, membaca perlahan-lahan wahyu yang sedang diturunkan, karena pengin segera menghafalkan. Beliau khawatir malaikat Jibril lekas pergi, padahal belum hafal. Oleh sebab itu, Allah menurunkan Al-Qiyamah ayat 16-19.
Maka, seperti yang diriwayatkan Ibnu Abbas, “Adalah Rasulullah Saw. sesudah menerima ayat-ayat itu, apabila datang malaikat Jibril membawa wahyu, beliau diam dan mendengarkan. Dan setelah Jibril pergi, Nabi Saw. membacanya sebagaimana Jibril membacakannya.”
Dari ayat dan keterangan Ibnu Abbas, makin jelaslah bahwa bacaan Baginda Nabi Saw. itu dengan hafalan. Ketika Jibril datang dan membacakan wahyu, beliau diam mendengarkan, baru kemudian beliau membacanya sebagaimana bacaan malaikat Jibril.
Hal demikian juga bukti, jika Baginda Nabi Saw. bisa membaca tulisan, niscaya beliau tidak melakukan dan tidak diperintahkan seperti ayat tersebut.
Ketiga, Baginda Nabi Saw. menjelaskan cara wahyu diturunkan, “Kadang-kadang wahyu diturunkan seperti bunyi genta, dan wahyu semacam inilah yang terasa sangat berat bagiku, maka apabila pergi ia dariku, aku sungguh telah menerima dengan hafal darinya (pembawanya) mengenai apa yang telah dikatakannya. Dan kadang-kadang malaikat itu menyerupai seorang laki-laki, lalu aku menerima dengan menghafal apa yang dikatakannya.”
Kurang lebih maksud sang Baginda Saw. itu, pertama, tentang wahyu yang diibaratkan seperti bunyi suara genta, yang oleh beliau dikatakan, “Wahyu inilah yang sangat berat bagiku”, menunjukkan suara yang tidak tersusun dari huruf dan datangnya tiba-tiba, yang seketika itu juga Baginda Nabi mendengarkan sungguh-sungguh dan melemparkan segala yang sedang ada di dalam hati sanubari. Kemudian barulah beliau menerima wahyu yang disampaikan malaikat dengan sejelas-jelasnya.
Baginda Nabi menerima wahyu seperti ini berasa sangat berat, karena beliau mesti melepaskan rohaniahnya dari jasmaniah manusianya dan pertemuannya dengan alam rohaniah malaikat. Maka benar adanya, saat demikian terasa sangat berat, dan seakan-akan jiwa beliau dicabut dari jasmaninya. Pendek kata, Baginda Nabi Saw. di kala itu sedang keluar dari alam kejasmanian dan masuk ke alam kerohanian.
Kedua, tentang malaikat yang menjelmakan diri sebagai seorang laki-laki dan bertemu dengan Baginda Saw., bagi beliau tidaklah berat, karena berarti malaikatlah yang turun dari alam rohaniah ke alam jasmaniah manusia, seraya membawa wahyu dari hadirat Allah Swt.
Demikian. []
Baca juga: Permulaan Wahyu

0 Komentar