(10)
BARANGKALI hal ini tidak popular. Tetapi saya tertarik untuk menuliskannya, yaitu pertama, tentang masa turunnya surah Al-Fatihah.
Banyak silih pendapat tentang masa diturunkannya. Ada yang berpendapat diturunkan di Madinah, ada yang di Makkah. Dan saat di Makkah, ada yang menyebut surah ini turun setelah surah Al-Mudatstsir atau pada urutan ke-5, dan ada yang mengatakan justru sebagai wahyu paling awal, yakni sebelum surah Al-‘Alaq.
Adalah sahabat Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa surah Al-Fatihah merupakan wahyu pertama. Dan Moenawar Chalil termasuk yang mengamini pendapat tersebut. Menurutnya lebih logis, sekira Al-Fatihah sebagai pokok pendahuluan wahyu. Menilik ia tersaji dengan moda ungkap yang singkat, tetapi menyeluruh, sebagaimana lazimnya sebuah pendahuluan.
Jika kita baca lebih seksama, surah Al-Fatihah macam intisari atau ringkasan keseluruhan kandungan Al-Qur’an. Kata pertama berupa puji-pujian, mengandaikan bahwa segala kejahatan, pembangkangan, dan pertentangan mesti disingkirkan. Bahwa semua itu tidak boleh ada buat kita, karena dalam puji-pujian, mata pandang kita sudah terangkat jauh di atas semua itu.
Berikutnya kita melihat sifat-sifat Allah yang lebih indah (ayat 2-4). Ini mengantarkan kepada sikap dalam beribadah dan berserah diri (ayat 5). Dan akhirnya tiba pada doa untuk memohon petunjuk, serta bertafakur mengenai petunjuk yang dimaksudkan (ayat 6-7).
Nah saat itu, ketika hampir tiba sang Baginda menerima wahyu di gua Hira, ketika beliau berada di suatu tempat seorang diri, ada suara memanggil-manggil. Tetapi tak ambil peduli, karena beliau tidak melihat siapa pun di sekelilingnya.
Beliau lantas menuturkan hal itu kepada Khadijah. Dan sang istri, karena melihat rona penuh khawatir dalam diri suaminya, berusaha menenangkan, “Semoga Allah memberikan perlindungan kepadamu, Suamiku. Karena engkau ini seorang yang selalu menunaikan amanat, mempererat hubungan kekeluargaan, dan selalu bekata benar.”
Ketika Abu Bakar masuk ke rumah Khadijah, dia menceritakan peristiwa yang dialami suaminya itu kepadanya. Kebetulan saat itu sang Baginda lagi tak di rumah. Lalu Khadijah meminta Abu Bakar, “Cobalah engkau ajak Muhammad untuk menemui Waraqah!”
Saat sang Baginda Saw. datang, Abu Bakar bergegas mengajak beliau menemui Waraqah. “Siapa yang menyuruhmu?” tanya Baginda Muhammad.
“Khadijah!” jawab Abu Bakar. Lantas keduanya berangkat ke rumah Waraqah.
Sesampai di sana, Baginda Saw. bercerita, “Apabila aku sedang sendirian di suatu tempat, aku mendengar suara orang memanggil dari arah belakang. Karena tak ada orang, aku pun lari.”
“Jangan begitu!” kata Waraqah. “Apabila ia datang lagi kepadamu, hendaklah engkau tetap tenang, hingga engkau mendengar apa-apa yang dikatakan. Kemudian datanglah kepadaku, apa yang ia beritakan!”
Alhasil, suatu waktu, Baginda tengah sendirian. Tiba-tiba ada lagi suara memanggil-manggil beliau, “Wahai Muhammad, katakanlah ‘Bismillahirrahmanirrahim(i); Alhamdulillahirrabil’alamin(a)…wa ladh-dhallin(a).’”
Baginda Muhammad lalu segera menemui Waraqah dan menceritakan apa yang dialaminya itu. “Bergembiralah engkau.” Kata Waraqah. “Sesungguhnya aku menyaksikan bahwa engkaulah yang telah diberitakan sebagai kabar gembira oleh Ibnu Maryam.”
Kedua, tentang wahyu yang turun setelah lima ayat surah Al-‘Alaq. Saya condong dengan pendapat bahwa surah Al-Qalam-lah yang diturunkan sesudah lima ayat surah Al-‘Alaq. Tetapi yang diturunkan hanya beberapa ayat dari permulaan saja (al-Qalam: 1-9), tidak seluruhnya.
Ayat-ayat tersebut merupakan penegas bagi Baginda Nabi dalam berdakwah nanti, sebagaimana pula telah diingatkan Waraqah, beliau akan dimusuhi, dicap sakit ingatan, gila, dan sebagainya. Oleh karena itu, sedianya beliau tak usah gentar, risau, khawatir, atau takut dengan suara-suara miring yang tertuju kepada beliau. Tapi sebaliknya beliau mesti bersikap tegak, dan bertindak tegas, serta jangan sekali-kali menerima kompromi.
Ketiga, sebelas ayat dari surah Al-Muzammil turun setelah Al-Qalam. Dalam ayat tersebut, Allah menuntun Baginda Nabi agar melepas selimut dan bangun melakukan salat, bermunajat kepada Tuhan, dan baca Al-Qur’an.
Baginda Saw. juga dituntun untuk tidak membiarkan diri terlena, bisa bertindak sabar atau tahan mendengar omongan orang-orang yang menolak ajakannya. Baginda dianjurkan untuk tidak hanyut dalam kekecewaan.
Begitulah! Pendek kata, permulaan wahyu yang turun kepada beliau adalah Al-Fatihah (pembuka), Al-‘Alaq (lima ayat), lalu Al-Qalam (sembilan ayat), kemudian Al-Muzammil (11 ayat). Baru kemudian, sesudah terputusnya wahyu selama kurang lebih tiga tahun, turunlah surah Al-Mudatstsir (tujuh ayat).
Demikian. []
Catatan:
1. Merujuk sahabat Ali bin Abi Thalib yang berpendapat bahwa surah Al-Fatihah adalah wahyu pertama, tidak lantas saya menampik pendapat yang menunjukkan bahwa lima ayat pertama dari surah Al-‘Alaq-lah yang merupakan wahyu pertama. Apalagi pendapat ini berdasar hadis-hadis sahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Tetapi, selain karena kelogisannya sebagai wahyu pembukaan, Al-Fatihah merupakan surah pertama yang diwahyukan kepada Nabi sekaligus secara utuh tanpa terpenggal-penggal.
2. Kedua surah awal, Al-‘Alaq dan Al-Qalam, menyinggung peranan “qalam” diartikan pena sebagai alat belajar-mengajar, seolah isyarat agar pengikut Baginda Muhammad menjadi umat terdidik, yakni berperan aktif di ranah baca-tulis.
3. Pada masa awal kenabian, perasaan shock masih dialami beliau. Pengalaman menerima wahyu yang pertama tidak segera hilang dari perasaan Baginda Nabi. Beliau perlu waktu untuk meringankan kekagetan dan merenungkan misi kerasulan yang beliau emban. Maka, turun Al-Qalam dan Al-Muzammil bahwa Nabi perlu meyakinkan diri, bahwa Tuhan akan selalu bersamanya.
4. Kekagetan dan kondisi batin yang shock akibat pengalaman di gua Hira tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Al-Mudatstsir turun untuk memulihkan kondisi batin beliau, dan segera mulai menjalani misi kerasulan, mengajak kaumnya ke jalan yang benar.
Baca juga: Menemui Waraqah

0 Komentar