(9)
KHADIJAH benar-benar sudah tak kuasa menahan diri lagi. Seraya duduk di dekat suaminya yang masih berbaring lemah, dengan lembut ia bertanya, “Katakan kepadaku, duhai kekasih, apa yang menimpamu? Sungguh, aku tak sabar lagi untuk mengetahui soal ini, ceritakanlah kepadaku!”
Sang Baginda menjawab, “Sungguh aku khawatir atas diriku sendiri.”
Jawaban yang sangat bisa dimengerti, karena beliau dalam kondisi khawatir yang teramat sangat. Beliau merasa lelah dan berbagai kecamuk perasaan akibat kehadiran dan dekapan malaikat Jibril yang begitu keras. Beliau masih diliputi khawatir bahwa yang memaksa dirinya itu dari bangsa jin.
“Oh tidaklah begitu, Suamiku. Allah tidak akan menghinakanmu selamanya, karena engkau seorang yang selalu mengekalkan tali kekeluargaan, menanggung kesusahan orang lain, mencarikan pekerjaan bagi yang tak punya pekerjaan, dan engkaulah yang selalu menghormati tamu. Engkau selalu berusaha menunjukkan jalan yang benar.”
Mendengar penuturan tulus dari istrinya, lantas Baginda Muhammad menceritakan semua yang dialaminya itu.
“Tidakkah engkau bertanya kepadanya, Suamiku,” kata Khadijah, “siapakah engkau dan apa maksudmu kepadaku?”
“Aku mendengar ia berkata, ‘Saya Jibril. Saya datang akan menyampaikan risalah Tuhan kepadamu.’”
Mendengar jawaban ini, Khadijah terdiam dan Baginda pun diam. Dalam hati Khadijah sudah terliputi perasaan penuh bunga, bahwa jawaban suaminya itu persis dengan yang dikatakan Waraqah. Sementara Baginda Muhammad masih terdera pikiran-pikiran yang dipenuhi peristiwa di Gua Hira semalam.
Setelah Baginda pulih seperti sedia kala, dengan segera Khadijah mengajak beliau menemui Waraqah, untuk bertanya lebih detail apa-apa yang menimpa suaminya, juga supaya beliau mendengar sendiri keterangan langsung dari Waraqah.
Sesampai di rumah Waraqah, seusai kedua tamu ini salim takzim, Khadijah berkata kepada Waraqah, “Hai anak lelaki pamanku! Dengarkanlah apa yang akan dikatakan anak lelaki saudaramu ini.”
“Apa yang engkau lihat, wahai anak saudaraku?” tanya Waraqah.
Baginda Muhammad lalu menceritakan semua apa yang baru dialaminya.
Setelah itu Waraqah berkata, “Suci, suci! Ini adalah rahasia yang paling besar yang pernah diturunkan Allah kepada Nabi Musa. Mudah-mudahan aku masih hidup, kelak bilamana kaummu mengusirmu.”
Baginda Muhammad bertanya heran, “Apakah mereka akan mengusirku?”
“Ya,” jawab Waraqah. “Tidak ada seorang pun yang datang membawa seperti yang engkau bawa, kecuali ia pasti dimusuhi. Jika aku masih mengalami harimu, kelak ketika engkau dimusuhi, niscaya aku akan menolongmu dengan sekuat tenaga.”
Kemudian, sesudah dirasa cukup, Baginda Muhammad dan Khadijah berpamitan. Dan semenjak itu pula, Khadijah memegang teguh keterangan-keterangan Waraqah. Karena memang itulah yang sebetulnya dia dambakan, bahkan sejak ia masih gadis. Sejak dini, Khadijah telah mendengar ramalan bakal hadir seorang nabi dari tanah Arab. Dan itu kian menguat saat Baginda bekerja kepadanya.
Begitulah. []
Catatan:
1. Waraqah bin Naufal (anak lelaki dari paman Khadijah) bin al-Asad bin Abdul Uzza. Waraqah menjadi penganut Nasrani, dan telah mempelajari kitab-kitab Taurat dan Injil. Ia menulis/menyalin kitab Injil dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Arab. Khadijah mengajak Baginda Nabi menemui Waraqah, karena ia tahu betul kealiman Waraqah, selain karena masih famili, agar Nabi mendengar sendiri keterangan darinya berdasar kitab-kitab yang ditekuninya.
2. Waraqah wafat selang beberapa tahun setelah pertemuannya dengan Baginda Muhammad dan Khadijah, yakni tahun kedua atau ketiga dari tahun kenabian Baginda Saw.
Baca juga: Menjadi Nabi
.png)
0 Komentar