Perbaikan Ka’bah

(4)

BENCANA AIR BAH pun menimpa kota Makkah. Ketika itu Baginda Muhammad berusia kurang lebih 35 tahun. Ka’bah yang selama 200 tahun terakhir tidak pernah mengalami kerusakan dan tidak pernah diperbaiki lagi, tenggelam dan kemudian roboh.

Sejak beberapa ratus lampau, hingga hari ini pula, Ka’bah senantiasa dihormati serta disucikan oleh bangsa Arab. Dan setelah bangsa Arab Quraisy memegang kendali kekuasaan di tanah Hijaz, mereka sangat mementingkan pemeliharaan dan penjagaan Ka’bah.

Pada masa itu, di Jeddah, yang terletak di tepi Laut Merah, ada sebuah kapal dagang asing terdampar pecah akibat angin ribut. Kapal yang pecah itu milik saudagar Romawi, Baqum, di mana ia memiliki kemampuan pertukangan, juga ahli dalam pembangunan gedung. 

Kembali soal Ka’bah, adalah kaum Quraisy sesungguhnya sudah lama memikirkan untuk memperbaiki Ka’bah, keadaan dindingnya tak memadai lagi. Sudah sangat tua dan lapuk, dan tak beratap. Padahal, banyak barang berharga di dalamnya.

Akan tetapi, lantaran mitos yang beredar seputar Ka’bah, mereka enggan atau bahkan takut untuk memperbaiki. Mereka takut kalau-kalau Tuhan murka dan mengutuk mereka. Mereka terbayang peristiwa tragis yang mendera pasukan bergajah yang sedemikian mengerikan. Luluh lantak.

Namun, begitu air bah menghempaskan Ka’bah, mereka berpikir ulang, saatnya untuk diperbaiki. Seolah itu perintah Tuhan agar mereka campur tangan untuk memperbaikinya. Tidak bisa tidak.

Seiring berita terdamparnya kapal di Jeddah, para pembesar-pembesar Quraisy yang dikepalai Walid bin Mughirah datang dan menjumpai Baqum di sana. Lantas dibelilah kayu-kayu dan segala yang tersisa di kapal, dan Baqum pun diminta untuk mengatur perbaikan kerusakan Ka’bah.

Sebelum Ka’bah dibongkar dan diperbaiki, ada kesepahaman dari masing-masing pemuka Quraisy, bahwa segenap biaya perbaikan Ka’bah sedianya berasal dari harta yang suci, harta benda yang tidak berasal dari hasil menipu, merampas, berjudi, riba, dan sebagainya. Undang-undang ini berlaku mengikat semua, termasuk pihak asing yang hendak mendermakan hartanya untuk perbaikan rumah suci.

Dan untuk menjaga agar tak timbul perselisihan, Walid bin Mughirah, selaku ketua pembangunan, membagi beberapa tempat untuk setiap kabilah. Yang mengerjakan di sebelah pintu Ka’bah adalah Bani Abdi Manaf dan Bani Zuhrah, antara Rukun Aswad dan Rukun Yamani diserahkan kepada Bani Makhzum, dan seterusnya.

Dalam pekerjaan ini, Baginda Muhammad pun tidak ketinggalan. Beliau turut mengangkut batu dan memindahkannya dari satu tempat ke tempat lain, bersama paman beliau, Abbas bin Abdul Muthalib.  

Nah, setelah pembangunan selesai, tinggal meletakkan Hajar Aswad di pojok dinding sebelah timur, mulailah percik perselisihan muncul. Masing-masing merasa paling berhak. Tak ada yang bersedia mengalah.

Perselisihan mulai dari adu mulut, hingga pertengkaran hebat, mengarah pada pertumpahan darah, hanya gara-gara perasaan paling berhak, paling tepat sebagai pemilik Ka’bah. Lagi-lagi, tak satu pun yang berela mengalah. Saat yang demikian, karena merasa pula sebagai yang paling muda, Baginda Muhammad memilih diam, lantas menyingkir, dan menjauhi perselisihan yang mengarah saling bunuh.

Rupa-rupanya Tuhan Yang Maha berkehendak, memunculkan tetua Quraisy, Hudzaifah bin Mughirah, untuk memadamkan pertengkaran itu. Ia berdiri di antara mereka, dan berpidato.

“Saudara-saudara yang sedang berselisih dan bertengkar! Kalian hendaknya jangan melanjutkan pertengkaran ini. Marilah kita sama ingat bahwa kalian telah sama-sama mengeluarkan harta benda yang tak sedikit, mencurahkan tenaga yang sangat banyak, dan membuang waktu berhari-hari. Kini, apa yang kalian kerjakan telah selesai, tinggal meletakkan batu hitam itu saja, suatu pekerjaan yang sangat mudah dan ringan. Tetapi, mengapa kalian berselisih begitu hebat? Sekarang baiknya begini saja, hendaknya perkara ini kita serahkan kepada seorang hakim yang adil, yang kalian pilih sendiri di antara kalian. Adapun caranya, barangsiapa yang pada hari esok pagi lebih dulu masuk ke dalam Masjidil Haram melalui pintu Bani Syaibah, dialah yang harus kalian serahi memutus perkara ini.”

Usul Hudzaifah disetujui, dan keesokan harinya, orang-orang melihat bahwa ternyata Muhammadlah yang lebih dahulu masuk ke dalam Masjidil Haram melalui pintu Bani Syaibah. Mereka semua berkumpul dan bersuara bulat untuk menyerahkan penyelesaian perkara kepada Muhammad. 

Baginda Muhammad meminta sehelai kain. Dan dihamparkannya kain tersebut, kemudian Hajar Aswad beliau letakkan di tengah-tengahnya. Beliau meminta semua pembesar Quraisy untuk beramai-ramai memegang dan mengangkat tepi kain ke pojok dinding Ka’bah sebelah timur. Setelah itu, Hajar Aswad beliau ambil dan diletakkan di tempat semula. 

Walhasil, lenyap sudah api permusuhan tersebut, yang sebelumnya nyaris perang saudara. Dan semenjak itulah, saat kurang lebih berusia 35 tahun, mulai tampaklah kecerdasan dan keadilan Baginda Muhammad di mata pandang masyarakat Makkah pada umumnya, dan kalangan bangsawan Quraisy khususnya. 

Demikian. []

*) dalam riwayat lain, pintu yang harus dilalui adalah pintu Shafa, bukan pintu Bani Syaibah. 

Baca juga: Putra-Putri Baginda Muhammad 

Posting Komentar

0 Komentar