CERAMAH ustadz itu menggema ke seluruh ruangan gedung megah depan Keraton Mangkunegaran, Surakarta. Gedung berlantai empat dan di setiap lantai penuh sesak orang yang mengikuti pengajian rutin Minggu pagi. Sang ustadz duduk di atas panggung yang berada di lantai tiga. Aku dan istriku juga sengaja memilih lantai tiga, meski tak berdampingan karena tempat duduk dipisah. Laki-laki depan, perempuan di belakang.
Minggu pagi itu, sang ustadz menerangkan keutamaan zakat. Betapa masih banyak umat Islam enggan mengeluarkan zakat, betapa merugi tak menjalankan tuntunan agama. Betapa ringan umat menjauh dari teks quran. Begitulah kira-kira inti ceramah yang ia sampaikan dalam tujuh menit, sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan dari peserta pengajian.
Model pengajian Minggu pagi memang beda dengan umumnya pengajian. Di situ ustadz memberi ceramah tak lebih dari tujuh menit, selebihnya adalah tanya jawab selama tiga jam. Peserta pengajian bebas mengajukan pertanyaan seputar tema yang diangkat, secara lisan atau tulisan. Peserta perempuan kebanyakan melalui tulisan. Tak jarang pula kaum laki-laki juga mengungkapkan permasalahan dengan tulisan. Macam pertanyaan diajukan, dan sang ustadz menjawab dengan gamblang, lengkap dengan dalil-dalil rujukan dari kitab suci.
Pukul 12-an, pengajian selesai. Peserta bubar, berhamburan keluar dari gedung pengajian yang berada persis di jantung Kota Sala itu. Terik matahari serasa tepat di atas kepala begitu berdiri di halaman gedung. Dalam gedung terasa dingin, tapi di luar panas menyengat.
“Kita langsung pulang, Yah?” tanya istriku sembari menyeka keringat yang melekat di dahi.
“Ya kita langsung pulang saja, nanti zuhuran di Boyolali.” aku gandeng istri menuju halaman parkir, pulang ke Ungaran.
***
“Bagaimana Bun, pengajian tadi?” aku ajak omong istriku supaya tak mengantuk. Panas begini, naik sepeda motor, apalagi duduk di belakang, pastilah mengantuk.
“Asyik sih, Yah. Cuma Bunda tadi malah kebayang jamaah pengajian yang sebegitu banyaknya.”
“Kenapa emang?”
“Iya, beruntungnya kita, dan mereka semua tadi, bisa bebas menyimak pengajian. Bebas berkumpul. Bahkan termasuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang dirasa tak berpihak.”
Sontak aku terdiam. Aku membatin, benar juga omongan istriku ini. Saat ini kita bebas melenggang. Berbanding terbalik dengan pengikut dan sahabat Nabi dulu. Bahkan Baginda Muhammad sendiri mesti mengalami pemboikotan.
Masih terbayang di benakku, betapa pembesar-pembesar Quraisy saat itu langsung terperanjat, begitu mendengar kabar bahwa akhirnya Umar pun mengikuti ajaran Muhammad.
Mereka makin panik. Ajaran “bocah keluarga Abdul Muthalib yang menganggap dirinya mendapat wahyu dari langit” itu memang mengundang kesan mendalam pada siapa pun. Mereka kehilangan perhatian dari budak-budak yang dulu sangat taat pada mereka.
Umayyah, misalnya, yang memprotes Muhammad pada suatu kesempatan mengundangnya di majlis Darun Nadwah. Ia menunjuk budaknya, Bilal, “Itu Bilal. Aku membelinya dengan uangku sendiri, dan nyawanya berada di tanganku. Apakah dia setara denganku?”
“Ya, dia bahkan memiliki kemampuan untuk melebihimu, jika dia mau.” jawab Muhammad dengan tenangnya.
Terang Bilal sangat terkesan mendengar perdebatan majikannya dengan Muhammad. Saat itu juga ia menyatakan menjadi pengikut Muhammad. Bahkan ia terang-terangan mengatakan kepada sang majikan bahwa mereka setara.
Para pembesar Quraisy pun hampir putus asa menghadapi gerakan yang dilancarkan Muhammad. Semula mereka mengira bahwa Muhammad hanyalah pengin mengembalikan kehormatan keluarganya. Sepeninggal Abdul Muthalib, wibawa Bani Hasyim menyurut, Abu Thalib tak sekuat ayahnya memimpin suku Quraisy, dan Muhammad ingin menjadi pemimpin Makkah.
Namun, mereka sungguh keliru. Muhammad sama sekali tak berminat untuk meraih kekayaan, kejayaan, atau kekuasaan. Muhammad tak bermotif untuk beristri seorang putri tetua Makkah, atau yang lain.
Sambil tersenyum lembut, Muhammad berujar kepada pamannya Abu Thalib, “Meski mereka meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan berhenti dari misi menyebar kalimat-Nya. Pilihanku hanyalah berhasil, atau mati saat berusaha.”
Para tetua Makkah yang berkuasa di Darun Nadwah terpana, dan tidak percaya dengan kemampuan Abu Thalib membujuk keponakannya. Mereka sadar, Muhammad tidak membutuhkan harta karena sudah kaya, berkat harta Khadija. Malahan Muhammad sendiri tidak peduli dengan semua harta itu, dan tidak pula berhasrat untuk memperbanyaknya.
Muhammad mengingatkan pengikutnya bahwa memperbanyak harta bisa menjadi racun bagi jiwa. Berbangga-bangga dalam memperbanyak dunia akan menghalangi mereka dengan Allah.
Dan Abu Lahab, Abu Jahal, serta para bangsawan Quraisy yang lain sangat merasakan potensi gerakan yang diusung Muhammad ini. Namun, mereka bersikukuh mengingkari kebenaran. Mereka pernah menugaskan para penyair untuk menyerang dan menghina Muhammad, tapi gagal total.
Konflik terbuka pun terus berlangsung dan kian menjadi-jadi. Secara membabi buta mereka menyerang siapa pun atau kabilah mana pun yang terang-terangan mengikuti Muhammad. Mereka menyiksa dan memaksa para mualaf untuk murtad.
Seperti yang dialami Bilal, yang dilempar ke atas pasir amat panas oleh majikannya. Bilal dipanggang di bawah sengatan terik matahari. Batu besar diletakkan di atas dadanya. Namun Bilal tak berpaling dari keyakinannya. Ia bersikukuh menjadi pengikut Muhammad.
Muhammad tak tega mendengar nasib pengikut-pengikutnya yang lemah. Ia pun menggelar pertemuan darurat. Hadir pengikut terdekat: Khadija, Baraka, Abu Bakar, Utsman, Umar, Abdurrahman, dan Fathima (adik Umar).
Muhammad meminta beberapa sahabatnya ini memimpin para budak dan kaum lemah untuk benar-benar pindah ke Habasyah atau Abyssinia.
Yang pertama memimpin kepindahan ke negeri Habasyah adalah Utsman bin Affan bersama istrinya Ruqayya, putri Muhammad. Mereka diiringi oleh sebagian pengikut Muhammad dari kelompok miskin dan kaum budak.
Menyusul kemudian rombongan kedua yang jauh lebih besar dipimpin oleh Ja’far bin Abu Thalib, 27 tahun. Ja’far ini melek huruf dan pintar bernegosiasi. Selanjutnya mereka semua berkumpul di bawah perlindungan raja Abyssinia.
“Kok Ayah malah diam sih?”
“Ya, jalanan ramai gini, masak ceriwis. Ayah mesti fokus, Bun.” Aku asal jawab.
Aku masih keasyikan membayang, para pemuka Quraisy di Darun Nadwah, berembuk bagaimana mengatasi Muhammad. Dan terbitlah keputusan resmi untuk boikot ekonomi dan sosial terhadap Bani Hasyim dan Bani Muthalib.
Dalam boikot itu tertera jelas bahwa orang-orang Quraisy dilarang berjual beli dengan kedua kabilah yang melindungi Muhammad. Tidak boleh menikahi seorang pun di antara mereka. Tidak boleh berbicara dengan mereka dan tidak boleh duduk-duduk, hingga Muhammad diserahkan.
Pemboikotan ini berlaku sampai Bani Hasyim dan Bani Muthalib sendiri yang melarang Muhammad, atau sampai ia sendiri menarik kembali pengakuan kenabiannya. Dan tidak kurang dari 40 pemuka Quraisy mengokohkan perjanjian boikot, meski tak semua setuju.
Sedangkan di rumah Khadija, Muhammad tepekur. Pemboikotan yang bakal dilakukan para pemuka Makkah memang menjadi pukulan telak bagi gerakan yang dipimpinnya. Namun, ia sedikit lega karena sebelumnya telah mengungsikan sebagian besar pengikutnya untuk mendapatkan suaka di negeri seberang.
Khadija selaku asisten nabi yang setia, dengan ketulusan iman dan keagungan cintanya, tiada jenuh menjadi pendengar yang baik dan penasihat yang cerdas bagi sang Baginda. Ia sangat tahu bahwa sasaran boikot ini adalah keluarga intinya, terutama suaminya.
Khadija pun tidak merasa eman bahwa kemudian ia akan meninggalkan rumah besarnya. Cepat atau lambat pemboikotan berlaku, dan ia beserta suami dan putri-putri akan keluar dari Makkah dan tinggal di sebuah lembah yang gersang.
Khadija terharu sekaligus bangga, suaminya tidak ikut pindah ke Abyssinia untuk pengamanan diri. Muhammad memilih tetap tinggal di Makkah untuk menghadapi pemboikotan.
“Kita berhenti dulu di pom bensin depan itu ya!” ajak istriku, dan sontak membuyarkan gambaran pemboikotan itu.
“Siaaap…!”
Ungaran, 30 September 2025
Baca juga: Andai Umar Hadir

0 Komentar