Kecemburuan Sayyida Aisya

SEMUA kecemburuan yang nampak jelas sebagai tabiat alami bagi kaum wanita, juga terjadi dalam sejarah kehidupan Sayyida Aisya, sebagaimana yang diriwayatkan sendiri oleh dirinya dan orang-orang di sekitarnya.

Seperti kecemburuannya terhadap mendiang Sayyida Khadija, dan adalah suatu yang wajar ketika sang Baginda sedang marahan dengan Aisya, karena jelas-jelas Sayyida Khadija sudah meninggalkan dunia ini. Sayyida Aisya protes gara-gara beliau yang selalu menyebut-nyebut nama Khadija di depan dirinya.

Biasanya, dalam kesempatan tersebut, Baginda Nabi akan menahan amarah kepada istrinya itu dengan meninggalkannya untuk beberapa waktu. Kemudian beliau kembali lagi kepadanya, sementara ibu Aiysa, Ummu Ruman, sudah berada di sebelah Aisya.

“Ya Rasulullah, apa yang terjadi antara dirimu dengan anakku?” tanya Ummu Ruman, “Aisya sesungguhnya masih lugu, sementara engkau berhak kepadanya karena telah menikahinya.” 

Baginda Nabi menjawab tapi dengan kata sindiran kepada Sayyida Aisya, “Bukankah engkau telah berkata, ‘Sepertinya di muka bumi ini tidak ada wanita lain selain Khadija!’”

“Apa yang kau sebut sebagai wanita lemah yang engkau cela itu, Wahai Humayra,” sambung beliau, “bahwa Allah telah menggantikannya dengan yang lebih baik dari Khadija?”

Sayyida Aisya terdiam, dan Baginda Nabi masih melanjutkan, “Demi Allah, tidak ada yang dapat menggantikannya untukku yang lebih baik dari almarhumah Khadija. Dia beriman kepadaku, di saat orang-orang mendustaiku. Dia membantuku di saat orang-orang enggan kepadaku…”

Saat yang demikian, Aisya sontak menunduk dan semakin menunduk, makin merasa bersalah kepada suaminya. Betapa sebelumnya ia tak sanggup menahan gejolak cemburu buta kepada mendiang istri pertama suaminya. Padahal tak mesti sampai demikian, keluh Aisya.

Namun, ya, namanya Sayyida Aisya, yang memang terlatih sebagai perempuan mandiri, sekaligus remaja rupawan nan cantik jelita putri Sayyidina Abu Bakar Ash-Shidiq. Ia hidup secara alami sebagai perempuan rajin dan lincah, yang memiliki pembawaan seperti ayahnya, lembut tapi juga acap meledak amarah jika dirasa ada yang tak beres. 

Aisya menikah dan membina rumah tangga dengan Baginda Nabi, saat berumur kurang lebih 14 tahun. Dari berbagai riwayat dikatakan, Aisya berkulit putih dan bertubuh agak jangkung. Maka, tak aneh bila ia pernah mengejek Sayyida Shafiya di depan suaminya, juga lagi-lagi karena perasaan cemburu, bahwa Shafiya adalah perempuan bertubuh bogel alias pendek.

Jadi, kecemburuan Sayyida Aisya ternyata muncul tidak hanya dalam satu situasi, tetapi dalam banyak situasi. Contohnya, kecemburuan dalam hal masakan yang disediakan untuk menyenangkan hati Nabi, yang ternyata lebih membuatnya cemburu dibandingkan kecemburuannya karena kecantikan atau keelokan wajah di antara para istri Nabi.

Nabi menyukai makanan dicampur madu yang biasa disediakan oleh Zainab binti Jahsyi. Oleh karena itu beliau kerap berucap terimakasih kepada Zainab. Mungkin Aisya menilai ucapan terima kasih itu bakal mengangkat posisi Zainab di hati sang Baginda, dan membuat beliau lebih condong kepada Zainab. Perlu dicatat, Zainab ini adalah salah seorang yang tercantik di antara Ummahatul Mukminin, dan perempuan yang beruntung di sisi baginda Nabi. Maka, Aisya bersepakat dengan Hafsha untuk mencela makanan yang dibikin Zainab.

Seperti yang diceritakan Aisya sendiri, “… aku dan Hafsha bersepakat untuk datang dan masuk menemui Rasulullah Saw. Lalu aku bertanya, ‘Apakah engkau telah makan maghafir?’” Maghafir adalah sejenis makanan yang terbuat dari getah pohon manis, tetapi berbau kurang sedap. Dan Baginda Nabi kurang berkenan dengan bau yang tak sedap.

“Tidak!” jawab Baginda. “Aku baru saja minum adonan madu yang dibuat Zainab.”

Lantas mereka berdua membeberkan hal ikhwal madu yang disediakan Zainab, bahwa madu tersebut berasal dari lebah yang terindikasi mengisap maghafir.

Baginda Nabi sempat terkecoh oleh ulah kedua istrinya ini, dan bermaksud tidak mau menerima lagi adonan dari Zainab. Maka, buru-buru turun kabar dari langit yang membuka kedok Aisya dan Hafsha dan membuat mereka berdua tersudut tak berkutik. Sang Baginda membacakan surah Al-Tahrim (66): 1-4.

Pernah juga, masih soal makanan, adalah Sayyida Shafia, istri Nabi yang berkebangsaan Israel yang menetap di Khaibar, yang cantik khas ras Yahudi, tapi oleh Sayyida Aisya dikatakan bertubuh pendek. Shafia ini ahli masak, “Aku tidak pernah melihat seorang juru masak layaknya Shafia,” kata Aisya. “Aku memesan makanan khusus untuk Rasulullah yang kebetulan beliau ada di rumahku. Aku membawanya dengan perasaan takut dan cemas. Aku gemetar akibat kecemburuan yang lama terpendam. Lalu tumpah dan pecahlah bejana yang aku bawa. Aku menyesal, ‘Ya Rasulullah, apa penggantinya yang harus aku buat?’ Beliau bersabda, ‘Bejana diganti seperti bejana, makanan diganti seperti makanan.’”

Juga terhadap Ummu Salama, wanita jelita bak Khadija, yang dituakan di antara istri-istri Nabi. Maka, Aisya merasa tersaingi oleh kehadirannya, yang sebetulnya ia juga tahu persis sebab kehadiran Ummu Salama di bilik cinta suaminya. 

Aisya menceritakan hal ini, “Suatu hari Rasulullah masuk ke rumah menemuiku, dan aku bertanya kepada beliau, ‘Ke mana saja engaku seharian?’ Nabi Saw menjawab, ‘Wahai Humayra, aku bersama Ummu Salama.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah engkau merasa kenyang di rumah Ummu Salama?’ Beliau hanya tersenyum. Kemudian aku bertanya sembari tersedu, ‘Ya Rasulullah, tolong beritahu aku, seandainya di sebuah lembah. Salah satunya tidak kau perhatikan keberadaannya, sedangkan satunya yang lain kau perhatikan. Lalu, sebenarnya manakah di antara keduanya yang engkau perhatikan?’ Beliau menjawab, ‘Aku tidak melalaikan apa yang belum sempat aku perhatikan.’ Aku menukas, ‘Sesungguhnya aku ini bukan seperti wanita-wanitamu yang lain. Semua wanita dari istri-istrimu pernah bersuami, kecuali aku…!’ Dan Rasulullah Saw. hanya tersenyum mendengar kata-kataku.”

Begitulah Sayyida Aisya. Para sejarawan berkomentar, “Semua istri Nabi Saw. adalah pencemburu, tetapi tak ada yang melebihi besarnya kecemburuan Aisya.”

Namun demikian, perasaan cemburu Aisya kepada istri-istri sang baginda Nabi yang lainnya, tidak ditampakkan dengan persaingan dan kemarahan langsung kepada mereka. Inilah luar biasanya dari seorang Aisya. Ia hanya langsung melampiaskannya kepada suaminya. Maka, Sayyida Aisya pun kerap mengemukakan kelebihan dirinya dibandingkan dengan istri-istri yang lain dalam hal kasih sayang dan kehormatan statusnya kala berdua dengan sang Baginda.

Demikian!

Ungaran, 9 Oktober 2025

Baca juga : Istri Nomor Satu 

Posting Komentar

0 Komentar