Istri Nomor Satu

SAYYIDAH AISYAH merasa di atas angin berkat julukan yang diberikan Baginda Muhammad, Humayra. Ia menyukai dan bangga dengan julukan tersebut. 

Lebih-lebih karena memang parasnya lebih segar ketimbang istri-istri yang lain. Aisya pun merasa bakal memenangkan persaingan merebut hati sang suami, karena hanya dirinyalah satu-satunya yang perawan. Semua istri Nabi yang lain adalah janda.

Dan Sayyidah Aisyah merasa sebagai istri yang asli, karena yang lain menjadi istri lebih sebagai wujud simpati, atau bertujuan politik, atau misi balas budi, dan seterusnya. Aisyah mengerti betul betapa Hafshah, Zainab binti Khuzaimah, dan Ummu Salamah, menjadi istri Nabi karena suami-suami mereka gugur di medan perang, Badar dan Uhud.

Aisyah memahami perasaan suaminya yang begitu terpukul atas meninggalnya Khunais bin Hudzaifah, tidak lama setelah Perang Badar. Khunais bin Hudzaifah menikahi Hafshah, putri Umar bin Khattab, sekembali dari Habasyah.

Hafshah yang belum genap 21 tahun telah menjanda. Dia sangat cantik dan kritis seperti ayahnya. Ia dapat membaca dan menulis, sehingga termasuk deretan juru tulis wahyu, selain Ali bin Abu Thalib.   

Baginda Muhammad menikahi Hafshah demi turut meringankan derita sekaligus mengangkat martabat sebagai putri sahabat utama. Sehingga kian dekatlah Umar bin Khattab kepada sang Baginda. 

Aisyah menyambut gembira kehadiran Hafshah dalam bilik cinta suaminya. Hubungan dekat kedua ayah mereka telah menjadikan dua istri nabi ini pun bersahabat intim. Karena usia Aisyah masih di bawahnya, Hafshah menjadi pembimbingnya di tahun-tahun pertama di rumah Nabi. 

Hafshah sedemikian dekat dengan Aisyah, tetapi sadar diri untuk tak menyainginya. Meski sebagai putri sahabat dekat Nabi sebagaimana ayah Aisyah, tetap saja bagaimanapun dirinya adalah janda. Hafshah lebih memilih mengalah, atau lebih tepatnya, mendukung apa yang jadi keinginan Aisyah. Termasuk terhadap kebiasaan usil Aisyah.

Suatu ketika, Aisyah mengajak Hafshah untuk menggoda Saudah, yang usianya jauh lebih tua itu. Mereka berdua membohongi Saudahbahwa dajjal sudah datang. Saudah ketakutan dan bersembunyi di dapur.

Sontak dua istri muda Nabi itu tertawa penuh kemenangan, kemudian memberi tahu suami mereka. Baginda Muhammad pun menolong Saudah dan menenangkannya. Merasa dibohongi, Saudah memarahi istri-istri muda itu.  

Kemudian sekembali dari dari Uhud, Nabi menikahi Zainab binti Khuzaimah. Zainab binti Khuzaimah merupakan janda Abdullah bin Jahsy.

Abdullah bin Jahsy adalah sahabat yang dipercaya Baginda Muhammad untuk memimpin barisan lapis terdepan dalam Perang Badar maupun Perang Uhud. Dan Abdullah bin Jahsy meninggal dunia di medan Uhud.

Sayyidah Zainab dipuji-puji Baginda Rasul sebagai wanita yang peduli kaum papa, sehingga ia dijuluki “ibu kaum miskin”. Hanya sayang, hidup Zainab ini pun tidak lama. Sekitar dua atau tiga bulan usia pernikahannya dengan Nabi, Zainab kemudian menjadi istri pertama Baginda Muhammad yang meninggal dunia setelah Sayyidah Khadijah. 

Setelah menikahi Zainab binti Khuzaimah, tak berselang lama Baginda Nabi juga menikahi Ummu Salamah. Sebab sang Baginda begitu tersayat hatinya dengan kepergian Abu Salamah, suami Ummu Salamah. 

Abu Salama sebagaimana Khunais bin Hudzaifah termasuk sahabat yang turut berhijrah ke Habasyah. Ia meninggal dunia akibat luka parah seusai dari Perang Uhud. Nah, Baginda Muhammad menikahi Ummu Salamah semata untuk mengobati luka hatinya yang ditinggal suami.

Ummu Salamah berkumpul di bilik Nabi disertai putra-putrinya yang masih kecil, yakni Umar, Salama, Durra, dan Zainab. Bahkan yang bungsu, Burra namanya yang kemudian diubah Zainab oleh Nabi, masih menyusu. 

Selanjutnya Ummu Salamah mendapat curahan cinta yang sedemikian lembut dari seorang laki-laki mulia. Ia pun membalas kebaikan suami keduanya ini dengan kehalusan budi dan kecemerlangan berpikir. Kisah Hudaibiyah menunjukkan betapa Ummu Salamah sangatlah cemerlang dan penyabar.

Diceritakan, seusai pernjanjian damai di Hudaibiyah, Baginda Muhammad menyeru para pengikutnya untuk mencukur rambut dan menyembelih hewan kurban. Namun, tak seorang pun menanggapi seruannya. Mereka masih mangkel dengan isi pakta perjanjian tersebut. Mereka tak siap untuk mengalah kepada kaum Quraisy.

Baginda Muhammad menyesal dengan sikap pengikutnya. Nabi masuk ke tenda dan bercerita kepada Ummu Salamah. Setelah mendengar cerita suaminya, ia berkata lembut, “Tenangkan hatimu, wahai Rasulullah. Demi Allah, sulit bagi mereka menerima perjanjian damai itu. 

“Namun, percayalah! Mereka takkan pernah mendurhakaimu. Keluarlah kau sekarang, tetapi jangan bicara dengan siapa pun sebelum kau sendiri mencukur rambut dan menyembelih hewan kurban. Kuyakin mereka pun akan berbuat sepertimu.”  

Dari situ, sekali lagi pantaslah sekira Aisyah merasa hanya dirinya yang menjadi istri nomor satu bagi Baginda Muhammad. Bahkan secara vulgar ia membanggakan diri di hadapan suaminya, “Aku, wahai Rasulullah, tidak seperti istri-istrimu yang lain. Tanpa kecuali, mereka pernah dipeluk laki-laki, kecuali aku.”

Lain waktu, sebagaimana dituturkan Nizar Abazhah, Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, jika engkau turun ke sebuah lembah, di situ ada dua pohon, yang satu sudah dimakan ternak, yang satu lagi tidak, lalu di pohon mana untamu akan kau gembalakan?”

“Di pohon yang tidak digembalakan ternak,” jawab Baginda Muhammad.

“Akulah itu!” tandas Aisyah, sebuah penegasan yang sama sekali tak terduga di jalan pikiran suaminya. 

Namun, Baginda Muhammad tetaplah sosok agung. Ia tak memarahi perasaan bangga yang menyemburat di hati istri mudanya ini. Ia bahkan takjub akan kejelian pilihan kata dan gairah kecemburuan Aisyah. 

Dari sini pula kita jadi paham bahwa kecemburuan yang merupakan tabiat alami kaum wanita, juga ternyata terjadi dalam sejarah kehidupan istri Baginda Nabi, Sayyidah Aisyah. Diceritakan, walaupun Sayyidah Khadijah telah berpulang beberapa tahun lamanya, tetapi Sayyidah Aisyah senantiasa merasa cemburu buta yang tidak dialami oleh Baginda Nabi dengan istri-istri lainnya.

Pernah suatu hari, sang Baginda berkata kepada Aisyah, “Sesungguhnya Khadijah telah berwasiat kepadaku….” Belum selesai kalimat sang Baginda, Aisyah dengan nada marah menyahut, “Khadijah, Khadijah…lagi-lagi Khadijah…. Sepertinya di bumi ini tidak ada wanita lain selain Khadijah!”

Begitulah!

Ungaran, 8 Oktober 2025

Baca juga: Sang Humayra

Posting Komentar

0 Komentar