(2)
KITA TENGOK sejenak, sebelum ke fragmen kehidupan Baginda Nabi Saw. lebih lanjut, yakni ketika Sayyidah Khadijah sedemikian tertawan hatinya dan lantas mengajukan diri kepada sang Baginda.
Adalah sesudah kafilah-kafilah tiba saatnya ke Makkah, di kota Syam Baginda Muhammad bersama-sama Maisarah mencari dan membeli barang yang diinginkan dan dipesan oleh Sayyidah Khadijah. Kemudian, rombongan kafilah itu berangkat pulang ke Makkah dan Maisarah tetap mengawani serta melayani Baginda Muhammad dengan perasaan yang sangat gembira, mengingat barang perniagaan yang dibawanya telah habis terjual dengan perolehan laba yang tak sedikit.
Sesampai kota Madinah, karena saking gembiranya, Maisarah memohon sang Baginda, “Ya Muhammad, alangkah baiknya bila nanti engkau sampai di Makkah, segera datang lebih dahulu kepada Khadijah, sebelum engkau pulang ke rumah, dan sampaikanlah keuntungan besar kita kepadanya, biar dia mengerti hasil usahamu ini.”
Begitu tiba di kota Makkah, beliau diantar Maisarah ke rumah Khadijah lebih dahulu dan oleh Maisarah diantarkan kepada Nafisah, pelayan perempuan Khadijah, agar diantarkan ke ruangan bagian atas, ruang tamu dan istirahat Khadijah.
Kedatangan sang Baginda disambut penuh hormat dan gembira oleh Sayyidah Khadijah. Dan hasil perniagaan serta keuntungan diterimanya pula dengan penuh rona bahagia. Sayyidah Khadijah kagum dengan sang Baginda yang sungguh di luar dugaannya itu. Barang-barang perniagaannya habis terjual dan laba yang tak sedikit.
Sayyidah Khadijah benar-benar kagum, mengingat bahwa pemuda Muhammad ini baru kali pertama pergi berniaga ke negeri Syam, meski sebelumnya pernah juga ke sana, tetapi saat itu hanya diajak dan mengikuti pamannya, tidak berdagang sendiri. Belum lagi dengan hasil perolehannya, seolah-olah sang pemuda di hadapannya ini seorang pedagang tulen yang malang-melintang berdagang. Akan tetapi, kekagumannya itu hanya tersimpan dalam sanubarinya sendiri.
Esok harinya, Sayyidah Khadijah lebih tercengang dan benar-benar di luar ekspektasinya setelah menerima laporan dari Maisarah, orang yang disuruhnya melayani dan mengawasi pribadi Muhammad selama perjalanan. Tentang perangai dan tindak-tanduk Muhammad sejak berangkat dari kota Makkah ke negeri Syam hingga tiba kembali di Makkah.
Maisarah juga melaporkan kejadian aneh ketika berhenti istirahat di Pasar Bushra, saat Baginda Muhammad menyendiri berteduh di bawah pohon besar. Maisarah yang menjauh, karena memang tidak berani ikut bernaung di bawah pohon itu, didekati dan ditanya Masthura, pendeta Nasrani, yang kebetulan kenal dengan Maisarah. Pendeta itu menyimpulkan, “Tidak ada seorang pun yang berani berteduh di bawah pohon itu, melainkan dia adalah seorang yang akan menjadi nabi dan pesuruh Allah.”
Laporan detail dari pembantunya itu, menambah rasa cinta Sayyidah Khadijah terhadap diri pemuda Muhammad. Jika tadinya dia hanya menyerahkan sebagian kecil barang perniagaannya kepada beliau dengan penuh kepercayaan untuk dijualkan ke luar negeri, sekarang dia hendak menyerahkan harta benda dan jiwanya sekaligus, sekalipun kepada beliau yang masih jejaka dan polos soal urusan rumah tangga.
Saat sendiri itulah, hati Sayyidah Khadijah mendesak, “Kiranya Muhammad itu yang menjadi suamiku! Kiranya Muhammad yang telah lama kukenang-kenang. Di manakah aku mendapati seorang laki-laki baik selain Muhammad? Aku kira tidak akan ada!”
“Muhammad bukan orang kaya,” kenang Sayyida Khadijah. “Dia seorang pemuda miskin. Segenap familinya bukan golongan orang mampu. Tetapi apa salahnya dan apa cacat dan celanya jika dia menjadi suamiku?
“Bukankah dia bangsawan Quraisy juga? Keturunan orang baik-baik, dikenal oleh segenap masyarakat kota ini? Maka, kiranya tidaklah akan ada cela dan jeleknya jika aku mengambilnya sebagai suami. Tentang kekayaan, aku telah cukup kaya. Kiranya cukuplah kekayaanku itu guna hidup anak beranak dengan dia sampai akhir hayatku nanti. Tetapi, apakah dia akan menerima keinginanku ini?”
Demikian, khayal dan bisikan hati kecil Sayyidah Khadijah saat merenung nasib dirinya yang telah menjanda. Hingga suatu hari, Sayyidah Khadijah terpaksa menyuruh budak perempuan yang sangat dipercayainya, Nafisah, untuk menemui Baginda Muhammad di rumah Abu Thalib.
Setelah pemuda Muhammad menerima paparan Nafisah tentang keinginan majikannya, beliau belum dapat mengambil keputusan sebelum mendapat pertimbangan dan keputusan dari pamannya.
Lain hari, Nafisah datang kembali ke rumah Abu Thalib untuk membicarakan soal tersebut, dan Abu Thalib seketika itu memberikan keputusan agar disampaikan kepada Sayyidah Khadijah.
Waktu berlanjut, Abu Thalib bersama kemenakannya pergi menemui paman Sayyidah Khadijah, Amr ibnul Asad, karena ayahnya telah wafat. Kedatangan Abu Thalib ini untuk memperbincangkan keinginan Sayyidah Khadijah terhadap kemenakannya. Oleh Amr ibnul Asad diterima dengan baik dan dia tidak keberatan dengan perjodohan antara Khadijah dan Muhammad, asal saja kedua belah pihak telah sama cinta. Dan lagi sudah terpandang baik dalam pergaulan di kota Makkah, karena kedua-duanya bertemu kebangsawanannya.
Tidak berapa lama kemudian, setelah beberapa hal dibicarakan masak-masak oleh kedua belah pihak, dilangsungkanlah pernikahan antara Baginda Muhammad dengan Sayyidah Khadijah. Pada waktu itu, Baginda Muhammad berusia 25 tahun, sedang Sayyidah Khadijah telah berusia 28 tahun.
Perhelatan berlangsung meriah di rumah mempelai perempuan, dan disaksikan segenap famili dari kedua belah pihak. Di antara yang datang dari pihak Baginda adalah Abu Thalib dan Hamzah; dan di pihak Sayyidah Khadijah sebagai wakil orangtuanya adalah Amr ibnul Asad dan Waraqah bin Naufal. Segenap pembesar dan pemuda dari Bani Hasyim pun turut hadir meramaikan.
Sebelum ijab kabul, sebagaimana kebiasaan bangsa Arab waktu itu, Abu Thalib berdiri dan menyampaikan khutbah.
“Segala puji hanya bagi Allah Yang telah menciptakan kita dari keturunan Ibrahim, dari bibit tanaman Ismail, dari pokok Ma’ad, dari cucu Mudhar; dan Yang telah menjadikan kita penjaga dan pemelihara rumah-Nya (Ka’bah), pengurus dan pengatur tanah suci-Nya, yang rumah dan tanah itu untuk digunakan ibadah haji dan untuk perlindungan yang mendatangkan keamanan dan yang telah menjadikan kita sebagai hakim bagi segenap umat manusia. Kemudian daripada itu, sesungguhnya anak saudaraku ini, Muhammad bin Abdullah, tidaklah dapat ditimbang dan dibanding dengan seorang lelaki lain, baik kemuliannya, keutamaannya, keluhuran budi pekertinya, maupun kebangsawanannya, melainkan pasti dapat kemenangan, meskipun dia seorang yang tidak mampu. Karena memang harta benda itu ringan, hilang, dan mudah lenyap, urusan yang menutup kebenaran, yang mengganggu kebaikan, dan barang pinjaman yang mesti diambil kembali oleh pemiliknya. Demi Allah, Muhammad ini kelak akan membawa berita yang amat besar, kepentingan yang sangat berguna dan tuntunan yang luhur mulia. Sesungguhnya, pada hari ini, telah menggembirakan bagi saudara-saudara, karena kegembiraan anak perempuan saudara-saudara, Khadijah binti Khuwailid, yang telah dipinang dan diambil istri oleh Muhammad bin Abdullah dengan maskawin, baik yang tunai maupun ditangguhkan, dari harta bendaku sebesar dua belas setengah uqiyah adanya.”
Kemudian berdirilah Waraqah bin Naufal (anak lelaki dari paman Khadijah), seorang ahli kitab yang alim Taurat dan Injil, menyambut pidato Abu Thalib.
“Segala puji dan sanjung hanya bagi Allah jua, yang telah menjadikan kita seperti apa yang telah engkau sebutkan tadi dan yang telah memuliakan kita sebagai apa yang telah engkau nyatakan tadi. Kita para kepala bangsa Arab dan pahlawan-pahlawannya adalah orang-orang yang ahli tentang itu; tidak ada seorang Arab yang mengingkari akan kemuliaan saudara-saudara dan tidak ada seorang pun yang menolak (tidak mengakui) keluhuran saudara-saudara; maka itu saksikanlah wahai saudara-saudara bangsawan Quraisy, bahwasanya aku hari ini telah menikahkan Khadijah binti Khuwailid dengan Muhammad bin Abdullah dengan menyediakan untuk peralatan perkawinan ini 400 dinar.”
Ketika itu, lantaran Amr ibnul Asad belum menampakkan diri dan berbicara, padahal dia ada di majelis itu, Abu Thalib mengemukakan permintaan supaya dia tampil ke muka, berbicara sepatah dua kata, sebagai orangtua (ayah) Khadijah.
Amr ibnu Asad meluluskan permintaan Abu Thalib. Ia berdiri dan berkata, “Saksikanlah oleh kamu sekalian, wahai kawan Quraisy, bahwasanya aku hari ini telah menikahkan Muhammad bin Abdullah dengan Khadijah binti Khuwailid.”
Demikian riwayat singkat berlangsungnya pernikahan antara Baginda Muhammad dan Sayyidah Khadijah.[]
Catatan:
1. Satu uqiyah itu sama dengan 40 puluh dirham, jadi dua belas setengah uqiyah sama dengan lima ratus dirham. Dan di riwayat lain, maskawin yang diberikan kepada Khadijah adalah dua puluh ekor unta betina muda.
2. Untuk menentukan usia Sayyidah Khadijah ketika dia menikah dengan Baginda Muhammad, mengutip kesaksian sahabat Khadijah, Lubabah (yang menyampaikan kepada putranya, Ibnu Abbas), bahwa Khadijah berusia 12 tahun ketika dia melihat seorang peramal di pasar membeberkan tentang masa depan Muhammad--yang saat kejadian itu beliau (Baginda Muhammad) berusia 9 tahun. Maka, Syekh Bahauddin Al-'Amili menyebutkan bahwa Khadijah berusia 28 tahun ketika menikah dengan Muhammad.
3. Dan memang ada perbedaan pendapat mengenai usia Khadijah pada saat pernikahannya, yaitu antara 25 hingga 30 tahun, oleh Ibnu Katsir, Al-Bayhaqi, dan Baladhuri. Mereka mengatakan bahwa Khadijah meninggal usia 50-an. Dan para ulama sepakat bahwa Khadijah mendampingi Muhammad selama 25 tahun. Sementara yang menyebut Khadijah telah berusia 40 ketika menikah dengan Muhammad, hanya Al-Waqidi, yang oleh para ahli hadits disebut lemah.
Baca juga: Rumah Tangga Baginda Muhammad

0 Komentar