Kehadiran Anak

KEMBALI kita tengok pasangan Muhammad dan Khadija. Mereka mulai dikaruniai anak. Khadijah melahirkan seorang anak laki-laki. Muhammad menamai Al-Qasim.

Tentu saja, saya dan kita semua bisa membayangkan, sebagai seorang yatim piatu, betapa Muhammad penuh kekaguman menatap putra sulungnya itu. Dengan nama Al-Qasim, pengisi kekosongan, seolah ia hendak mengatakan bahwa putranya telah turut mengisi kebelumsempurnaan pasangan baru itu.

Muhammad mengatakan kepada Khadija bahwa dirinya, istrinya, dan juga kita semua ini adalah manusia yang belum sempurna. Ibarat angka 99, angka yang belum selesai, atau tepatnya nyaris selesai. Dan anak dalam sebuah keluarga merupakan penggenap kekurangan, sehingga mencapai bulat penuh.

Makna “belum sempurna” ini juga menyeret pada pemahaman bahwa kehidupan ini memang dihadapkan pada keadaan yang nyaris selesai. Bahwa kehidupan tidak akan selesai sebelum setiap individu turut serta beramal menyambung estafet kehidupan sebelumnya.

Itulah sebabnya, kita mengenal doktrin bahwa manusia pada aslinya baik, dan dinyatakan pula bahwa tidak adanya amal baik akan menghancurkan kesempurnaan aslinya.

Nah, setelah Al-Qasim cukup besar, Muhammad kerap membawanya berjalan-jalan di alam terbuka, dan mengajaknya bermain. Dalam hal ini, lagi-lagi Khadija makin kesengsem pada Muhammad. Suaminya ini ternyata jauh lebih indah dari yang ia bayangkan sebelumnya. Khadija menyadari bahwa kebaikan Muhammad melebihi dari yang ia dengar-dengar sebelumnya. Pesona Muhammad seperti tak bertepi. Keluhurannya melampaui batas harapannya. Sebagai kepala rumah tangga, Muhammad mau terlibat dalam pengasuhan Al-Qasim, juga Abdullah, putranya yang kedua.

Padahal, dalam usianya yang sudah 28 tahun, dan telah menjadi salah seorang terkaya di Makkah, Muhammad tetap mau mengganti baju anak-anaknya, memandikan mereka. Mengganti popok Abdullah. Menggendong Al-Qasim, dan membawanya ke pasar.

Namun, ujian Tuhan tetap berlaku. Di suatu malam, setelah menidurkan balita-balitanya itu, Muhammad berbincang kepada Khadija untuk mengajak Al-Qasim berjalan-jalan. Dan esoknya, saat hendak membangunkan si sulung, didapatinya Al-Qasim sudah tak bernyawa. 

Bisa dibayangkan, betapa sedih tak terkira mendera Khadija. Mendadak sebuah peristiwa menghancurkan impiannya, yang saat itu tengah hamil anak yang ketiga. Sedang Muhammad, dengan tabah mempersiapkan pemakaman putra sulungnya. Dengan didampingi keluarga besar dan sahabatnya, Abu Bakar, saat itu masih bernama ‘Atiq, Muhammad menguburkan jenazah Al-Qasim.

Selang beberapa bulan kemudian, Khadija melahirkan bayi perempuan yang diberi nama Zainab. Bayi cantik ini diharapkan turut membantu Abdullah untuk bisa menyempurnakan pasangan Muhammad-Khadija.

Namun, seperti halnya sang kakak, Abdullah ternyata turut menyusul pulang kepada-Nya. Kepulangan yang sungguh mendadak, dan tanpa tanda, persis Al-Qasim. Muhammad, dan lebih-lebih Khadija, sangat terpukul dengan kepulangan putra kedua. 

Muhammad berusaha menenangkan emosi Khadija agar bisa menjaga kondisi kandungan anaknya yang keempat. Kemudian, persis ketika Muhammad berusia 30 tahun, sang jabang itu pun lahir, dan sangat cantik, serta diberinya nama Ruqayya. 

Berikut saat Muhammad berusia 32 tahun, lahir lagi seorang putri, Ummu Kultsum. Dan tiga tahun kemudian lahir Fathima. Namun, dua tahun sebelum kelahiran putri keempat ini, Abu Thalib berada dalam kesulitan finansial yang berat. Sehingga, Muhammad membawa Ali, yang berusia lima tahun, sebagai anggota keluarga.

Fathima lahir. Dan kelahirannya ini menjadi penutup Khadija untuk bisa hamil atau melahirkan lagi putra-putri Muhammad. Muhammad pun menamai Fathima untuk putri bungsunya ini karena terkesan dengan bibinya yang telah mengasuh dirinya sedemikian rupa. Fathima, sang bibi, menyayangi Muhammad, sangatlah menyayangi.

Dan waktu membuktikan, kita ketahui dalam riwayat-riwayat, Fathima sang putri bungsu Muhammad ini memiliki peri perangai persis ayahnya. Ia berperasaan halus, bertutur kata luwes dan jelas, serta penuh percaya diri. 

Demikianlah bahwa akhirnya keempat putri itu, beserta putra angkat Zaid dan Ali, yang menyemarakkan rumah tangga Khadija bersama Muhammad. Rumah tangga mereka yang benar-benar bahagia. Penuh bahagia.

Padahal sebelumnya, Khadija sedikit gundah, karena seperti halnya wanita-wanita Quraisy di masa itu, mengharapkan anak yang dikandungnya laki-laki. Namun Muhammad justru menunjukkan kekaguman kepada putri-putrinya: Zainab, Ruqayya, Ummu Kultsum, dan Fathima. Muhammad tidak sama dengan orang Quraisy lainnya. Ia menyambut setiap anak yang lahir dari rahim Khadija dengan riang gembira.

Syahdan, Khadija sepenuhnya sadar. Betapa tidak ada alasan baginya untuk tidak bahagia dengan kehidupannya mendampingi Muhammad. 

Begitulah.

Posting Komentar

0 Komentar