[xli]
SEPULANG dari Madinah, saat kaum Quraisy memenangkan Perang Uhud, justru mendapatkan cibiran, “Ah, kalian tidak mampu membunuh Muhammad, menawan dan menghinakan pengikut perempuannya?”
Sudah jamak pada saat itu, seusai musuh dikalahkan, maka kaum perempuan akan ditawan, hingga dilecehkan dan dihinakan. Sehingga, penawanan kaum perempuan menjadi simbol kemenangan sekaligus penghinaan terburuk terhadap musuh beserta sekutunya.
Dari situ, Baginda Muhammad hadir menghapus tradisi barbar yang sudah lazim di Arab. Setelah beliau berhasil memukul mundur Bani Musthaliq, sang Baginda Saw. berupaya meringankan beban mereka akibat kekalahan.
Nabi Muhammad menjalin hubungan keluarga dengan Harits bin Dhirar, pemimpin Bani Musthaliq. Beliau menikahi putrinya, Juwayriah, setelah kaumnya menelan kekalahan dan perempuan-perempuannya tertawan. Baginda Rasulullah tak menginginkan Bani Musthaliq merasa dihinakan.
Begitu sang Muhammad Saw. menikahi Juwayriah binti Harits, umat Islam segera membebaskan tawanan dan hamba sahaya yang mereka miliki dari Bani Musthaliq. Mereka membebaskan semua rampasan dari sana.
Sebab misi peperangan yang ditempuh Baginda Rasul lebih tertuju untuk menyampaikan sinyal bahwa wilayah yang diperangi menjadi area kekuasaan Islam Madinah. Selanjutnya, wilayah tersebut akan memperoleh perlindungan. Dari peperangan itu pula, akan tersiar pandangan, umat Islam merupakan yang terkuat.
Sehingga jelas, peperangan hanyalah bagian dari risalahnya sebagai seorang nabi yang diutus Tuhan. Betapa beliau menyampaikan risalah-Nya berdasar perhitungan yang terorganisir secara sistematis. Tidak ngawur. Tidak asal gempur. Dan tidak bergantung jumlah pasukan.
Kita tahu, tempat tinggal Bani Musthaliq tidaklah jauh dari Madinah, tetapi menempati jalur utama Makkah ke Syams. Dan Baginda Muhammad berhasil menimpakan kekalahan telak terhadap Bani Musthaliq pada Januari 627, tiga bulan sebelum Perang Khandaq.
Namun toh, Bani Musthaliq tidak terhinakan atas derita kekalahan dengan jalinan hubungan kekeluargaan yang dibangun Nabi.
Yang demikian, kemudian menumbuhkan sikap simpati masyarakat Arab pada diri Muhammad Saw. Bahwa ada perlakuan terhormat terhadap Bani Musthaliq setelah mereka menderita kekalahan. Malahan penduduk Quraisy secara umum cenderung mendukung perjuangan Nabi dan Islam.
Itu pula yang terjadi, tatkala Baginda Rasul beserta rombongan meng-qada umrah setelah perjanjian Hudaibiah, orang-orang Quraisy pada mendatangi tenda yang dihuni sang Baginda di dekat Ka’bah. Mereka datang dengan diam-diam, jauh dari sorotan mata dengki para tokoh dan pemimpin Quraisy.
Lebih-lebih kemudian, beliau membawa janda Maimunah, yang tak lain adalah bibi dari Khalid bin Walid, ke Madinah sebagai istrinya.
Demikian pula, tatkala Baginda Muhammad terpaksa menggempur Bani Nadhir di Khaibar. Di situ, berkumpul kaum Yahudi dalam jumlah yang besar.
Sebelumnya, Bani Nadhir bergerak dari pengasingan di Khaibar untuk memprovokasi kaum Quraisy agar menyerang Madinah. Yang kemudian kita ketahui, Madinah dikepung oleh Quraisy dari luar, dan terancam dari dalam oleh kaum Yahudi Bani Quraizhah yang dipimpin Huyay bin Akhtab.
Bani Quraizhah merupakan keturunan Al-Kahin atau Kohen dari Bani Harun. Sehingga, setelah Khaibar hancur, Baginda Rasul menikahi Shafiyah binti Huyay, yang bernasab langsung dengan Harun, seorang nabi penyeru agama Yahudi.
Jelas, Rasulullah Saw. tak bermaksud memutus hubungan dengan Ahli Kitab. Harun adalah salah satu dari 12 suku Yahudi. Kita tahu, Yahudi yang tinggal di Madinah adalah Yahudi Ibrani dari Bani Israel, juga orang-orang Arab yang masuk Yahudi.
Dalam membangun peradaban Madinah, Baginda Muhammad merumuskan kebijakan secara menyeluruh. Bahwa peperangan-peperangan, dan berbagai perjanjian damai, dan termasuk pernikahannya, kecuali dengan Khadijah, bukanlah aktifitas tunggal yang terpisah satu sama lain.
Kesemuanya, akhirnya, terbaca sebagai episode-episode dari sebuah rangkaian kebijakan yang berakhir dengan menempatkan Quraisy dalam posisi yang tidak memungkinkan, selain pasrah dan menyerah dalam rengkuhan Islam.
Seperti Ummu Habibah yang merupakan putri Abu Sufyan, dedengkot musuh Nabi dari Quraisy, menjadi bagian dari para ibu kaum mukmin, ummahatul mukminin.
Demikianlah Baginda Muhammad Saw., yang memperlihatkan ketabahan, ketangguhan, dan percaya sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Beliau sangat percaya diri dan tak berupaya menghinakan musuh-musuhnya.
Benar adanya, bahkan musuh-musuh Baginda Rasul Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam tak merasa terhina. []
Ungaran, 25 Desember 2025
Baca juga: Dari Peristiwa Uhud

0 Komentar