INILAH Qasidah Cinta itu. Qasidah yang saya peroleh dari Muhammad Zuhri. Qasidah yang berawal dari kisah tatkala Allah Ta’ala memperjalankan sang Nabi Saw.—yang tak sedang berorientasi kebutuhan jasmani, saat malam atau tengah berlaku spiritual—dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.
Perjalanan seorang hamba yang hendak memenuhi panggilan Allah, yang dimulai dari Makkah menuju Palestina, dari Baitul Haram menuju Baitul Maqdis. Baitul Haram adalah “rumah kini”, Baitul Maqdis merupakan “rumah lama”.
Rumah hari ini berupa akal, dan ilmu, sementara rumah lama adalah qalb, makrifat, atau kesucian. Potensi akal berorientasi pada fenomena-fenomena alam dan kausalitas-natural. Sedangkan qalb adalah kausalitas transenden atau semua akibat dari berhubungan langsung dengan Tuhan. Sebuah penghayatan tentang betapa tidak berartinya semua ilmu pengetahuan yang dimiliki di depan amr Allah.
“Sungguh, milik-Nyalah ciptaan dan amr itu. Maha Berkah Allah Tuhan semesta alam.” (Al-A’raf: 54)
“Maka ke mana saja engkau menghadap, di situlah wajah Allah.” (Al-Baqarah: 115)
Betapa besar makna “ke-Engkau-an” Allah ini, yang membuat sasaran pengabdian kita semakin jelas, yakni kepada apa dan siapa saja yang kita engkau-kan. Artinya, kita menemukan Tuhan di dalam “engkau”, tatkala kita sanggup menisbahkan setiap yang kita engkau-kan dengan Allah sebagai “Engkau Yang Sebenarnya”. Kita menyadari bahwa di balik setiap ciptaan terdapat perintah (amr) Allah. Maka, amr Allah itulah yang sedianya kita tanggapi saat sedang berhadapan dengan realita.
Realita atau kenyataan adalah medan Yang Mahanyata menyatakan diri. Ia menyatakan Diri dalam rangka memberikan pelayanan, pengembangan dan perlindungan kepada makhluk-Nya.
Bahwa kenyataan yang berwujud benda-benda, manusia dan peristiwa-peristiwa memiliki dua wajah: ciptaan dan amr. Ketika kita menghadapi kenyataan dan yang tampak hanya sisi “ciptaan”, lazimnya kita akan bersemangat hidup, dan berupaya menggapai segala fasilitasnya. Namun, jika yang tampak adalah sisi “amr” (perintah Allah), niscaya kita akan kehilangan hak untuk menyentuhnya sesuka hati, bertindak menurut kemauan sendiri.
Menyaksikan “amr” yang melatarbelakangi setiap “ciptaan” itu disebut menyaksikan “Wajah Allah”. Dan keadaan seorang yang telah menyaksikan Wajhullah itu persis keadaan orang yang telah meninggal. Ia tampil tanpa mempertahankan martabat dan harga dirinya, dan tidak pula bersandar pada apa yang telah dimiliki, baik harta, ilmu pengetahuan, amal perbuatan maupun prestasi-prestasinya.
Ia tak lagi terpesona pada apa-pun, tidak pula meminta sesuatu pun, dan bahkan tidak pernah mengadukan perihal apa pun. Akibatnya ia tak lagi jinak kepada apa dan siapa pun, karena telah mendapatkan Allah yang tak tertandingi oleh apa dan siapa pun.
Bagaimana hal itu terjadi? Seseorang tidak akan dapat membaca perintah Tuhan atau menyaksikan Wajah-Nya sebelum ia mati. Istilah “mati” di sini adalah telah selesai dengan masalah diri. Yakni seseorang yang terpanggil untuk mengurusi masalah yang lebih besar, masalah umat dan semesta.
“Istirahatkan dirimu dari berupaya (untuk kepentingan diri). Karena apa yang telah ditegakkan oleh selain dirimu (Allah), tak perlu engkau bersusah-payah menegakkannya untukmu.” (Al-Hikam).
Nah, kita tengok bahwa dalam bersejarah, kita berupaya menembus kemungkinan-kemungkinan. Namun, sekali lagi menempuh kemungkinan yang terbaik adalah melaksanakan amr Allah. Ini beresiko tinggi, memang, maka hanya orang-orang yang berjiwa besar yang berani mengaktualisasikan perntah-Nya.
Dan kebesaran jiwa tidak diukur dengan kekuatan fisik dan intelegensinya, tetapi oleh rasa tanggungjawab terhadap nasib umat dan semesta. Dan kebesaran tanggungjawab ini tergantung pada rasa cinta kepada sesama. Sedang rasa cinta kepada sesama tidak mungkin bisa tumbuh tanpa adanya citra ketuhanan di dalam diri.
Walhasil, dari semua kebijakan yang dipancarkan Nabi Saw. dari ketaatan beliau memenuhi undangan Tuhan ke puncak pendakian (mi’raj) hingga turun kembali adalah sikap hidup beliau yang selalu hadir di depan Allah dengan mewakili umat, dan hadir di depan umat dengan mewakili Allah.
Benar-benar akhirnya, ketika Baginda Nabi menghadap Allah, beliau bertanggung jawab menyampaikan tuntutan dan harapan umat manusia kepada-Nya. Dan ketika beliau berhadapan dengan manusia, beliau bertanggung jawab menyampaikan pesan dan perintah Allah kepada mereka.
Itulah kenapa, beliau merupakan imamnya para nabi, tiada lain lantaran beliau sanggup memadukan dua kiblat, yaitu Baitul Muqaddas, sebagai simbol wakil umat manusia di depan Allah, dan Baitul Haram simbol khalifah Allah di muka bumi, wakil Allah di depan manusia.
Sekarang, apakah dalam berdo'a dan shalat-shalat kita di depan Allah, kita benar-benar membawa harapan umat, dan di dalam pergaulan kita dengan sesama manusia telah menyampaikan pesan dan perintah Allah? Sekiranya jawaban kita itu belum, berarti kita belum menyandang akhlaqul karimah.
Bukankah sabda beliau, "Aku telah diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." Dan firman Tuhan, "Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlak yang luhur.”
Ungaran, 23 November 2025

0 Komentar