APAKAH RASULULLAH SAW. berdakwah dengan tujuan untuk meraih kekuasaan, atau kepemimpinan, atau kekayaan yang berlimpah? Atau, apakah dakwahnya merupakan akibat dari penyakit yang diidapnya?
Dan sederet pertanyaan lain, tapi, betapa agung rahasia kehidupan yang telah dipersiapkan Tuhan bagi Rasul-Nya. Allah Swt. telah memenuhi kehidupan Rasul-Nya dengan berbagai peristiwa yang menghancurkan semua kemungkinan itu, dan menyingkirkan segala bisikan buruk untuk merendahkan Rasulullah Saw.
Salah satu kebijaksanaan Allah Swt. adalah menetapkan agar kaum musyrik beberapa kali menemui Nabi Saw. untuk membujuknya menghentikan dakwah. Sebenarnya mereka telah memperkirakan bahwa Muhammad akan menolak rayuan mereka. Sebab, mereka sangat mengenal karakter Rasulullah Saw., tabiat dakwahnya, dan tujuan jangka panjang risalahnya. Mereka tahu betul bahwa Muhammad tidak akan takluk oleh bujuk rayu mereka. Namun, begitulah kehendak Tuhan, agar sejarah dapat membongkar kebohongan semua yang menebar keraguan.
Ya, kebohongan-kebohongan seperti anggapan bahwa Baginda Rasulullah Saw. dalam berdakwah adalah ambisi untuk berkuasa dan menjadi raja. Sehingga, tatkala membaca riwayat beliau berkibar di Madinah dan beristrikan lebih, mereka nilai upaya menjadi penguasa, dan para istri beliau pun mereka cap sebagai selir-selir.
Padahal, jauh sebelum anggapan kaum modern ini, Allah Ta’ala telah menundukkan Utbah bin Rabiah dan para pemuka Quraisy lainnya yang datang menawarkan semua motif dan bujukan itu kepada Baginda Muhammad Saw. Mereka menemui beliau seraya meletakkan senjata dan semua alat penyiksaan yang sebelumnya diarahkan kepada Muhammad dan para pengikutnya. Jika benar bahwa Rasulullah Saw. menjalankan dakwah karena mengharapkan harta dan kekuasaan, lantas mengapa beliau tidak bersikap lembut kepada mereka, tidak mau mengambil harta dan kekuasaan besar yang ditawarkan kepada beliau asalkan mau berhenti dakwah?
Lagi pula, mana mungkin orang yang mengincar kekuasaan sudi menyimak baik-baik semua tawaran itu yang disampaikan dalam beberapa kali perundingan, yang disertai ancaman dan harapan, untuk akhirnya menjawab, “Aku tidak berdakwah karena menghendaki kekayaan, kemuliaan, atau kekuasaan. Namun, Allah mengutusku sebagai rasul. Dia menurunkan Kitab kepadaku dan memerintahkanku agar memberikan kabar gembira dan peringatan. Kemudian risalah Tuhanku itu kusampaikan dan aku menasihati kalian. Jika kalian menerima dakwahku maka kebahagiaan bagimu di dunia dan di akhirat, jika kalian menolak dakwahku maka aku bersabar mengikuti perintah Allah sehinga Allah memberikan keputusan antara aku dan kalian.”
Di samping itu, kita dapat melihat kehidupan sehari-hari Rasulullah Saw. sangat selaras dengan ucapannya. Beliau menampik kekuasaan dan kekayaa tidak hanya dengan lisannya. Penolakannya itu tergambar jelas dalam sikap, perilaku, dan perbuatannya. Rasulullah makan dan minum dengan sangat sederhana, menjalani kehidupan laiknya orang miskin dan melarat. Dalam sebuah hadits diriwayatkan Al-Bukhari, Aisyah r.a. bercerita, “Sampai Nabi Saw. wafat, di rak makananku belum pernah ada sesuatu yang bisa dimakan makhluk hidup, kecuali separuh bungkus tepung, itu pun kuhabiskan untuk beberapa lama.”
Al-Bukhari juga meriwayatkan bahwa Anas r.a. berkata, “Nabi Saw. belum pernah makan dengan piring hingga beliau wafat, dan belum pernah makan roti empuk hingga ajal menjemputnya.”
Dalam urusan pakaian dan perabotan pun Rasulullah Saw. sangat sederhana. Di pinggangnya kerap terlihat bekas anyaman tikar. Bahkan, tidak ada yang pernah melihat beliau tidur di atas kasur yang lembut dan empuk hinga suatu hari istri-istrinya datang menemui beliau, termasuk Sayyidah Aisyah r.a., mengadukan kehidupan mereka yang memprihatinkan dan menuntut tambahan nafkah untuk menghias diri dan berpakaian dengan layak sehingga mereka tidak kalah dari istri para sahabat. Mendengar tuntutan mereka, Rasulullah Saw. tertunduk marah dan tidak menjawab apa-apa. Lantas Allah menurunkan firman-Nya, Al-Ahzab: 28-29.
Baginda Rasulullah Saw. membacakan kedua ayat ini kepada mereka, lalu mempersilakan mereka memilih antara hidup bersama beliau dengan keadaan sederhana, atau diceraikan secara baik-baik agar mereka punya kesempatan mendapat nafkah, perhiasan, dan harta yang lebih banyak. Ternyata, mereka semua memilih tetap hidup bersama Rasulullah Saw. dengan keadaan yang sangat sederhana.
Jadi, mana mungkin gerakan dakwah Nabi Saw. didorong ambisi kekuasaan atau ketamakan?
Kemudian, apakah bijaksana jika kita menempatkan urusan politik sebagai jalan dakwah? Kebijakan dan politik yang legal memang memiliki arti penting, tetapi tetap tidak boleh keluar dari batas-batas syariat.
Kita bayangkan, jika Rasulullah Saw. menghendaki kekuasaan politik, tentu beliau akan menerima tawaran kaum Qurasiy untuk menjadi raja. Karena, kekuasaan politik bisa dijadikan sebagai sarana untuk membangun dakwah Islam. Terlebih lagi kekuasaan sangat besar pengaruhnya terhadap jiwa manusia. Lihat saja hari ini, para petualang dari berbagai ideologi melakukan berbagai upaya untuk menguasai pemerintahan lalu memanfaatkan kekuasaannya untuk memaksakan pemikiran dan ajaran mereka terhadap rakyat.
Namun, Nabi Saw. tidak sudi menempuh siasat seperti itu dalam membangun dakwahnya, karena itu bertentangan dengan prinsip dakwah itu sendiri. Seandainya cara-cara seperti itu merupakan kebijakan dan siasat yang benar, tentu kita tidak akan bisa membedakan antara orang jujur yang tegas dalam kejujurannya dan pembohong yang melakukan berbagai tipudaya. Kita juga akan melihat orang yang jujur dalam dakwah mereka bercampur dengan para dajjal dan tukang sulap di sebuah jalan lebar yang bernama “kebijakan dan politik”.
Falsafah agama ini didasarkan atas pilar-pilar kehormatan dan kejujuran, baik dalam sarana maupun tujuannya. Tujuan hanya boleh ditegakkan dengan kejujuran, kehormatan, dan kebenaran. Sama halnya, sarana untuk meraih tujuan itu juga harus didasari kejujuran, kehormatan, dan kebenaran.
Karena itulah para dai dan ulama, dalam setiap situasi, perlu lebih banyak berkorban dan berjihad, mereka harus berdakwah dengan cara dan metode seperti yang dilakukan Baginda Rasulullah Saw., karena jalan syariat tidak memberi peluang untuk menyimpang ke kiri atau ke kanan.
Sungguh keliru jika prinsip kebijaksanaan dakwah dianggap hanya digunakan untuk memudahkan kerja juru dakwah atau demi menghindari kesulitan. Justru, rahasia keberhasilan dakwah adalah menempuh sarana yang paling dekat dengan ajal dan pikiran masyarakat. Artinya, ketika kondisi silih berganti dan halangan serta rintangan menghalangi jalan dakwah maka kebijakan yang harus diambil adalah mempersiapkan diri untuk berjihad serta mengorbankan harta dan nyawa.
Di sinilah letak perbedaan antara hikmah dan tipu daya; perbedaan antara hikmah dan menyerah. Kita ketahui, betapa Rasululah Saw. yang suatu ketika merasa optimis melihat tanda-tanda kesediaan para pemuka Quraisy untuk menerima Islam. Maka, dengan gembira dan penuh semangat beliau menjelaskan kepada mereka dan menjawab pertanyaan mereka tentang Islam. Saking semangatnya menghadapi para pemuka Quraisy, beliau mengacuhkan seorang sahabat yang tunanetra, Abdullah bin Ummi Maktum, yang melewati majelis itu, lalu duduk ikut mendengarkan, dan akhirnya bertanya kepada beliau. Sahabat itu bertanya ketika Rasulullah Saw. sibuk menghadapi para pemimpin Quraisy. Beliau merasa, itu kesempatan yang sangat bagus untuk tidak boleh disia-siakan sehinga beliau memutuskan untuk menjawab pertanyaan Abdullah bin Ummi Maktum di lain kesempatan.
Akhirnya, Allah Swt. menegur Nabi Saw. itu dalam Surah ‘Abasa, “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya.” (‘Abasa: 1-2).
Allah Swt. menyalahkan ijtihad Rasulullah, meskipun tujuannya baik. Pasalnya, langkah yang beliau ambil itu dapat mematahkan hati dan menghancurkan perasaan seorang muslim. Nabi Saw. mengacuhkan seorang muslim hanya demi memikat hati orang-orang musyrik. Tentu saja itu bukan kebijakan atau cara yang dapat diterima. Allah tidak menyukainya sehingga langsung menegur beliau.
Walhasil, tak seorang pun boleh mengubah hukum dan prinsip Islam, atau melanggar dan apalagi meremehkan aturan-aturannya, dengan dalih “menempuh kebijaksanaan dalam berdakwah”. Sebab, suatu kebijakan hanya disebut bijak jika sesuai dengan aturan, prinsip, dan ketetapan syariat.
Demikian paparan Dr. Said Ramadhan Al-Buthy, agar kita paham betul falsafah dakwah adalah upaya yang paling dekat dengan ajal dan pikiran masyarakat. []
Baca juga: Jalan yang Sulit

0 Komentar