The Great of Muhammad

AKHIRNYA, tak bisa tidak Abu Thalib pun mengakui kehadiran Muhammad di dalam keluarganya. Bahwa memasuki usia remaja, Abu Thalib semakin mengandalkannya.

Dan lagi-lagi Muhammad adalah remaja yang cepat belajar, remaja yang pintar. Dalam usia yang belum genap 20 tahun, telah melampaui kemampuan para niaga ulung, termasuk pamannya sendiri.

Muhammad menjadi orang kepercayaan Abu Thalib, bahkan sudah hampir seperti anak sendiri yang dilepas tanpa pengawasan sang paman dalam berniaga. Apalagi memang, saat menyertai pamannya, ia mengamati bagaimana pamannya selalu menjadi yang pertama mengulurkan tangan dan berjabat tangan dengan orang lain.

Muhammad juga mendengar berbagai negosisasi para peniaga. Bagaimana mereka beramah tamah. Bagaimana menikmati suguhan tarian yang anggun sembari menyesap teh, dan susu yang dicampur madu.

Muhammad akhirnya menjadi wakil independen yang banyak dicari oleh para saudagar Makkah. Ia sangat cepat mengerti nilai dan jenis barang yang paling laku di Damaskus. Bahwa getah mur dan kemenyan Arab sangat diminati di seluruh kekaisaran Bizantium dan Persia.

Dalam perdagangan antarkawasan itu, seni berdiplomasi juga sangat diperlukan. Dan di situ pun Muhammad Saw. belajar dengan cepat. Ia sanggup meredakan perdebatan yang tak terelakkan tentang pembagian keuntungan. Artinya Baginda Muhammad Saw. pun terampil menenangkan amarah dan menegosiasikan perselisihan.

Terlebih dalam menjalankan bisnis yang mewakili para kalangan kaya, Muhammad tidak pernah memalsukan pelaporan, tidak pernah memotong keuntungan. Dan kalau pun ada komisi dan memang akan selalu memperoleh komisi, ia bagi-bagikan sebagai sedekah kepada kaum miskin. Ia tidak pernah mengambil potongan tambahan untuk dirinya sendiri secara sembunyi-sembunyi.

Hal yang tak lazim pada saat itu, saat ini juga. Betapa Muhammad jauh bahkan sama sekali tidak pernah memalsukan laporan pengeluaran kepada juragan yang mengutusnya. Saya yakin para saudagar itu pun tahu kebiasaan para wakil mereka yang biasa memotong keuntungan di tengah perjalanan. 

Sehingga, para saudagar yang mengutus Muhammad niscaya membersitkan perasaan kagum dan heran. Kagum karena melihat Muhammad Saw. sedemikian jujur, sebegitu amanah. Tetapi juga heran, bahkan menganggapnya bodoh, karena Muhammad seolah tak memikirkan masa depannya sendiri. Seolah tak memiliki motif pribadi.

Ketiadaan kepentingan tersebut sungguh membuat Baginda Muhammad Saw. berbeda. Bayangkan, ia yang lahir sebagai anak yatim dan tumbuh kuat berkat udara gurun yang jauh di luar Makkah, kemudian meremaja sebagai pengurus unta-unta kafilah. Sebagai penggembala kambing milik pemuka kaya. 

Lantas mendewasa sebagai seorang pengelola bisnis yang tahu betul soal perdagangan. Seorang pengelola yang tidak sekali pun akan mendahulukan kepentingan sendiri. Sungguh, tiada kepentingan pribadi.     

Namun, lantaran ketiadaan kepentingan dalam karir perniagaan, mengantar Baginda Muhammad kepada Sayyida Khadija. Pada 595, Sayyida Khadija mempercayakan Muhammad untuk menjalankan bisnis ke Damaskus. 

Bagaimana hasilnya? Muhammad melapor kepada sang Khadija dengan membawa keuntungan yang berlipat-lipat. Ia pun mendapatkan barang-barang yang berkualitas bagus sebagai balasannya. Dan seperti biasa, keluarga Abu Thalib serta kalangan miskin sekitar Ka’bah akan turut merasakan hasil jerih perniagaan pemuda gagah yang dulu tumbuh sebagai yatim piatu tersebut.

Dan kita tahu dari biografi yang tersebar, pada tahun itu pula, Sayyida Khadija melamar Muhammad, bukan sebaliknya. “Aku menyukai dirimu, Muhammad, karena hubungan kita dan karena reputasimu yang tinggi dengan sifat dapat dipercaya, karakter yang baik, dan tulus.”

Dalam usia 30-an, Muhammad menjadi laki-laki yang bahagia. Sayyida Khadija yang rupawan selalu berada di sisinya. Masyarakat Makkah pun menghormatinya sebagai laki-laki yang terhormat, laki-laki yang terpercaya. 

Di dalam kenyamanan rumahnya, ada empat putri yang turut mendukung suasana bahtera kian nyaman. Ditambah kehadiran Zaid yang semula sebagai hadiah pernikahan dari Sayyida Khadija, tapi oleh Muhammad Saw. diperlakukan selayaknya anak sendiri. Sayyida Khadija menyetujui.

Turut pula sepupu Baginda Muhammad, Ali putra bungsu Abu Thalib yang sebagaimana Zaid bin Haritsah, juga diperlakukan sebagai anak sendiri oleh sang Baginda dan Sayyida Khadija.

Saat yang sama, bisnis Abu Thalib terus menyusut sepeninggal Muhammad dari bawah atap rumahnya. Abu Thalib dan anak-anaknya tidak semahir keponakannya dalam menjalankan perniagaan ke luar Makkah.

Akhirnya Abu Thalib benar-benar menyadari bahwa Muhammad memang pemuda yang berbeda dari kaum muda seusianya. Muhammad sungguh tulus menjalankan perniagaannya. Pastinya Abu Thalib teringat dengan peringatan Bahira, 20-an tahun silam. Abu Thalib pun menyesal karena sempat meremehkan putra saudaranya ini yang memang datang tanpa membawa warisan.

Walhasil, ketiadaan kepentingan dalam diri Muhammad Saw. adalah kunci reputasinya. Ia menjadi sesosok yang mengundang decak kagum di kalangan para saudagar. Sayyida Khadija salah satunya.

Kemudian, bahtera dua pasangan agung nan mulia itu terus merambat. Muhammad Saw. semakin menunjukkan kebiasaannya: berpikir dan merenung.

Menjelang usia 40 tahun, sebagaimana kebiasaan kalangan pemikir bangsa Arab saat itu, meluangkan waktu untuk beribadah selama beberapa waktu dalam kesendirian dan jauh dari keramaian, Baginda Muhammad Saw. semakin memperdalam pikiran dan renungannya.

Hingga, saat Ramadhan 610 M, ketika renungannya pun semakin mendalam, tiba-tiba datanglah Jibril a.s. membawa lembaran di tangannya, dan berkata, “Bacalah!”

Setelah peristiwa turunnya lima ayat surah Al-Alaq, Muhammad Saw. pulang menemui Sayyida Khadija. Tubuhnya gemetar seperti terserang demam. Dan Sayyida Khadija sungguh luar biasa. Ia sanggup menenangkan suaminya yang tesergap perasaan khawatir yang nyaris merenggut akal sehatnya. 

Ketika Muhammad Saw. bilang bahwa dia telah kerasukan jin dari Gua Hira, Sayyida Khadija menggelengkan kepala, “Tuhan pasti menyelamatkanmu dari kegilaan, Sayangku.” 

Dan dia peluk suaminya sampai matahari terbit. Tatkala kepala sang Baginda memberat di atas pangkuannya, ia menggesernya pelan-pelan di tempat tidur. Lantas ia berbenah dengan kerudungnya, dan keluar menghirup udara pagi menemui Waraqah, sepupunya.

Di hadapan sepupunya yang seorang hanif itu, Sayyida Khadija menceritakan kondisi suaminya yang ketakutan seusai dari laku menyepinya di Gua Hira.

“Jika yang kau katakan itu benar, Khadija, maka yang muncul di hadapan Muhammad adalah roh agung yang pernah muncul di hadapan Musa. Katakan kepadanya agar berteguh hati, karena dia benar-benar nabi umat ini.” tanggapan Waraqah. 

Sayyida Khadija bergegas balik ke rumah di mana Muhammad Saw. masih terlelap di atas tempat tidur. Pelan-pelan ia pandangi wajah tampan suaminya dengan sepenuh takjub. Ia makin mengagumi, kian menyayangi.

Tebersit di benaknya, manakala mengingat pesan sepupunya, tugas mahaberat telah menanti suaminya. Tugas untuk membimbing umat manusia. Dan itu serasa mustahil, meski sadar Muhammad dikenal sebagai pemuda yang baik, sangat tepercaya, tetapi latar belakang kanak-kanaknya adalah gambaran hidup seseorang yang bukan penghela umat.

Muhammad Saw. adalah anak laki-laki yang tersisih ke pinggiran. Lahir sebagai yatim yang tak mengantongi harta warisan. Kemudian ia menjadi seorang bocah Badui yang hidup pas-pasan di tengah terik gurun.

Selanjutnya, Muhammad Saw. berkarir sebagai duta niaga yang terbilang sukses, tapi sama sekali ia tak berpikir akan menjadi seorang pemikir radikal baik mengenai Tuhan maupun masyarakat. Tak tebersit bakal menantang secara langsung tatanan sosial dan politik yang sudah mapan di Makkah.

Ya, Muhammad Saw., sesosok yang bukan siapa-siapa, sosok yang remeh, dan kemudian menjadi sosok asing di lingkungan keluarga besarnya, tapi berpengaruh sepanjang masa.

Namun, sekali lagi, Baginda Muhammad tak punya bayangan akan seperti apa nantinya. Dan saat Waraqah meramalkan bahwa Muhammad bakal terusir dari tanah airnya, suami Sayyida Khadija itu tak bersangka akan menemu kesulitan.  

Dan benar kata Waraqah, Muhammad Saw. seperti menjadi orang asing di tengah keluarga besar Bani Hasyim. Saat ia mengundang keluarga besarnya untuk mendengar seruannya, para kerabat berhamburan dari rumahnya sambil menggeleng-geleng kebingungan. Mereka tak habis pikir apa yang mengendap di benak suami Khadija itu.  

Mereka memang terpesona dengan yang dibacakan Baginda Muhammad Saw. Tetapi, mereka lebih heran dengan pikiran mereka sendiri, apa yang dikejar Muhammad setelah berhasil sebagai wakil perniagaan, bahkan telah menikahi seorang saudagar wanita terkemuka Makkah? Apakah ia masih berlaku layaknya bocah pengurus unta? Atau penggembala kambing?

Namun, sementara paman Muhammad Saw. dan anggota Bani Hasyim lainnya yang lebih tua menulikan mereka terhadap permohonan Baginda Muhammad, Sayyida Khadija justru sebaliknya. Ia benar-benar seorang istri yang mulia. 

Sayyida Khadija yang telah mendampingi Baginda Muhammad selama 15 tahun, paham betul dengan karakter suaminya. Muhammad Saw. adalah pria pembelajar yang sedari kecil lebih suka mendengarkan daripada berbicara. Perkataannya biasanya singkat dan terkendali. Sehingga akan terdengar runtut.

Tetapi seusai dari Gua Hira, Sayyida Khadija menyadari betapa luar biasa kata-kata yang meluncur dari bibir suaminya. Masih dalam pelukannya, dan dengan terbata-bata, kata-kata dari suaminya itu lebih dia rasakan ketimbang dia dengar.

Dan saat itu, saat Baginda Muhammad masih gemetar dalam pelukan Sayyida Khadija, ia merasakan suaranya: kata-kata puitis yang sudah diembuskan kepadanya di atas pegunungan siap diembuskan keluar. 

Itulah wahyu pertama Al-Quran, yang berwujud dalam kata-kata yang enak serta dapat diperdengarkan kepada manusia lain. Dan Sayyida Khadija menjadi pendengar pertama. Benar, Sayyida Khadija adalah pendengar pertama setelah kata-kata Tuhan meluncur dari lisan manusia pilihan Tuhan dan pilihan hatinya.

Ah, entahlah! Saat mengikuti panggung shalawatan yang meriah itu, justru the great of Muhammad ini yang menari-nari dalam benak, bukan gempita shalawatnya.

Posting Komentar

0 Komentar