Sebagai Pejuang

SEMALAM terlalu sedikit tidurku. Bahkan nyaris tak tidur. Pukul 04.00 baru bisa merebahkan badan di atas kasur. Tak aneh, usai subuhan, aku baru bisa membukakan mata lagi pukul setengah sepuluh, meski masih bergolek di kamar tidur. Itu pun karena dibangunkan istriku, agar sarapan pagi. Anak-anak sudah berangkat sekolah diantar istri. 

“Maafin Ayah ya, Bun! Ayah bangun kesiangan. Sehingga tak berkesempatan mengantar anak-anak ke sekolah.” Sambil aku berjalan ke meja makan, di mana istri sudah menunggu untuk makan bersama. Tercium olehku aroma khas kopi yang mengundang selera. Aku lihat nasi putih yang terhidang dalam mangkuk besar. Sayuran rebus tanpa kuah di atas piring, dan di sebelahnya satu mangkuk kecil sambal pecel. Beberapa helai daun kemangi di atas piring kecil. Ada pula tempe mendoan dan telur dadar kesukaanku. Dan terakhir, rempeyek yang masih terbungkus plastik, jelas baru saja dibeli.  

“Wow kopi rempah!” teriakku sembari menyeruput sedikit kopi setelah meletakkan pantatku di atas kursi. Duduk menghadap piring kosong dengan sendok di atasnya, berhadapan dengan istri. 

“Tadi Bunda yang antar anak-anak ke sekolah,” istriku buka suara.

“Ya, maaf! Kan tidak seterusnya mengantar. Sudah, ayo makan! Tunggu apa lagi.”

Istriku menatakan nasi putih, sayuran rebus, dan kemangi di atas piring. Siram dengan sambal pecel dan kemudian ia sodorkan kepadaku. Ia ambil bungkusan plastik isi rempeyek, dan gunting pucuknya. 

“Rempeyek, Yah!” ia taruh di atas piringku. Hal yang sama, ia lakukan di atas piringnya. Kemudian sama-sama makan. Sarapan pagi tanpa anak-anak.  

“Bagaimana pecelnya, Yah?”

“Enak! Tidak seperti biasa. Coba resep baru nih? Rempeyek ini juga gurih.”

“Ya, pasti enaklah. Kan Bunda beli di warung pojok Pasar Ungaran.”

“Oalah beli! Ayah kira Bunda yang masak. Namun serius, enak banget rasanya.”

“Ya, Bunda hanya masak nasi putih dan air saja pagi ini. Habis Ayah juga bangunnya siang. Kan Bunda kudu antar anak-anak sekolah. Nah, habis dari sekolah, Bunda sekalian mampir pasar.”

“Ya...ya...sekali lagi maafkan Ayah, yang bangun kesiangan! Oh iya, Bunda kenal pemilik warung yang jual pecel ini kan?”

“Kenal! Memang kenapa?”

“Ya, kenapa tidak dari dulu langganan pecel darinya? Kan enak kalau sarapan pagi dengan menu istimewa kayak begini ini.”

“Ah dasar hamba perut! He he....” istriku tertawa meledek. “Ya, Bunda juga baru kenal tadi pagi kok, Yah. Itu pun semula iseng. Tak sengaja melihat warung di teras rumah tapi dikerubuti antrean pembeli.”

“Pemilik warung itu,” sambung istriku, “pasangan muda suami istri. Ya seumuran kitalah. Beda tipis. Mereka urban dari Blora. Baru tiga tahun ini coba mengadu nasib di kota kecil kita ini. Anak mereka baru satu, perempuan, dan kini duduk di kelas enam SD Negeri induk Ungaran. Mereka tinggal di rumah kontrakan dekat pasar, persisnya di gang sempit belakang Bank Perkreditan, samping Rumah Makan Padang.”

“Oh ya, Ayah kenal daerah situ.” 

“Lha ternyata, saban pagi, teras rumah mereka itu dijadikan macam kedai kopi gitulah! Mereka buka lapak yang menjajakan: tahu campur, sambal pecel, dan ketoprak. Menu selingannya: sayur pepaya muda, oseng-oseng daun singkong, kacang panjang, oseng tahu tempe, orak arik sayur,  tempe dan tahu mendoan, serta telur dadar.  Oh ya nama mereka: Mas Topo dan Mbak Tini, Martini nama lengkapnya. Namun orang-orang pasar kerap memanggil Mbak Tini. Menu minuman yang mereka tawarkan hanya teh dan kopi.”

“Tapi inti cerita bukan soal menu makan dan minumannya, Yah. Ada yang lebih dahsyat. Mereka, terutama Mas Topo, mengajak kita untuk rutinan ngaji kitab tafsir tiap malam akhir pekan di rumah mereka. Hari gini, coba, di Ungaran lagi, yang belum menjamur ngaji begituan.”

“Aneh!”

“Itulah yang bikin Bunda penasaran dengan Mas Topo dan Mbak Tini. Maka Bunda berlama-lama nongkrong di sana. Bunda jajal tahu campur mereka. Ternyata mereka dulunya aktivis mahasiswa, dan pernah mondok di Magelang. Mereka mengontrak rumah itu buat ngaji TPQ anak-anak tiap sore, dan ngaji tafsir Al-Quran.”

“Dan ngaji tafsirnya benar-benar ngaji, Yah! Lebih banyak ke mendiskusikan kandungan dan sejarah ayat diturunkan,”

Sontak pikiranku melayang pada Al-Arqam. Di rumah kontrakan pasangan itu, persis di rumah yang besar dan semi kosong milik Al-Arqam, serta dalam suasana bebas dan aman, mereka dengan seksama mendengar ayat-ayat dibacakan dan dijelaskan oleh Baginda Muhammad.

Ya, Baginda Rasul mengulang-ulang ayat-ayat yang diterimanya agar para pengikutnya bisa menghafalnya. Kemudian beliau menggelar diskusi analitis, memberikan pertanyaan, dan mendorong semua yang hadir berbagi gagasan.

Dan semenjak itu, kelompok demi kelompok pun berdatangan, menyatakan masuk dalam barisan Baginda Muhammad. Beberapa budak menyelinap untuk menghadiri pertemuan. Sehingga, komunitas baru ini pun bertumbuh pesat, mencapai kisaran 300 orang.

Aku jadi membayangkan Sayyida Khadija menahan haru atas upaya suaminya itu. Masih jelas di benak, dulu, begitu Baginda Muhammad turun dari gua Hira, spontan dari lubuk hati yang terdalam, ia menyatakan diri beriman. Ia bersyukur akhirnya menjadi istri penutup para nabi.

Zaid dan Ali, beserta keempat putrinya, turut mendukung sang suami. Mereka semua beriman, mengikuti jejak dirinya yang tak tanggung-tanggung berjibaku di belakang Nabi Muhammad. Turut pula beriman sang ibu angkat suaminya, Barakah. Maka, jadilah rumah mereka sebagai rumah “asing” di tengah penduduk Makkah.

Berturut-turut ayat turun, berturut pula sahabat-sahabat berdatangan dan mengakui kenabiannya. Lantas Sayyida Khadija tak putus-putus menyemangati sang suami. Ia yang cerdas mengetahui betul, tugas suaminya tidaklah ringan.

Begitu rumahnya mulai menjadi basis gerakan ajaran baru, Sayyida Khadija tak segan mengorbankan hartanya. Ia menopang suaminya dengan status yang dimilikinya. Ia pun menabahkan hati sekuat tenaga menjadi pendamping yang senantiasa menyejukkan hati suami. 

Karena semenjak permulaan ajaran baru itu, sejak turun perintah untuk menyebarkan risalah ke khalayak, secara kasatmata Sayyida Khadija tak lagi merasa tenang dan aman. Hidupnya yang sepenuhnya demi sang suami, selalu berhadapan dengan teror dan ancaman. 

Dengan dipilih rumah Al-Arqam sebagai markas baru, ancaman yang khusus menimpa diri dan keluarganya tak kunjung surut. Namun demikian, anggota pengikut Baginda Muhammad meningkat secara signifikan. 

Orang-orang Makkah pun semakin bereaksi keras, terutama kepada budak-budak mereka. Mereka mulai bergerilya untuk mencari tahu di mana markas jaringan bawah tanah Baginda Muhammad. 

Sampai suatu hari, Abu Jahal berpapasan dengan Baginda Muhammad yang sedang berjalan menuju rumah Al-Arqam. Dan memang, sudah berhari-hari Abu Jahal sengaja memata-matai Nabi Muhammad. Ketika melihat sang Nabi, kebencian dan kedengkiannya meledak. 

Abu Jahal melontarkan caci maki kepada sang Baginda. Ia pun mengata-ngatai ajaran yang dibawa Baginda Muhammad tak lebih sebagai sampah yang memecah belah suku Quraisy. Namun, Baginda Muhammad tak merespon Abu Jahal. Ia tetap tenang dan terus melangkah melanjutkan perjalanan, seolah tak peduli dengan sumpah serapah yang keluar dari mulut Abu Jahal.

Budak perempuan Abdullah bin Jud’an yang lagi di rumahnya mendengar semua umpatan itu. Ia mlipir ke luar untuk memberi tahu keluarga sang Baginda, dan di tengah perjalanan bertemu Sayyidina Hamzah. Hamzah tak terima mendengar keponakannya dicaci maki, apalagi di muka umum.

Sayyidina Hamzah, yang termasuk ditakuti di kalangan Quraisy, menemui Abu Jahal di majlis Quraisy dan memukul kepalanya dengan busur, “Apakah kamu mencaci makinya? Aku menganut agamanya. Aku mengatakan apa yang dia katakan. Ayo balas jika kamu mampu!”

Abu Jahal pun mengakui bahwa dia telah menghina Baginda Muhammad. Kemudian Sayyidina Hamzah berlalu dari hadapan Abu Jahal, dan bergegas menuju rumah Al-Arqam. Di hadapan sang keponakan, Hamzah menyatakan diri mengikuti ajarannya. Hal itu terjadi pada tahun pertama periode Al-Arqam, dan tahun ketiga kenabian.

Masuknya Hamzah di barisan Muhammad turut memperkuat komunitas kecil ini. Tetapi reaksi orang-orang Quraisy makin brutal terhadap siapa saja yang ketahuan mengikuti Rasulullah, terutama kelompok yang lemah.

Hari demi hari, permusuhan kaum Quraisy terhadap Baginda Muhammad dan para pengikutnya semakin sengit. Dan Baginda Muhammad sendiri mengalami berbagai tekanan serta penindasan. 

“Heran kan, Yah?” tanya istriku memecah keheningan di meja makan ini. Aku mengangguk, dan kisah Baginda Muhammad dengan markas barunya masih menari-nari di benak. Sang Rasul yang seperti tanpa henti dari hinaan dan cemooh pembesar-pembesar Quraisy. 

Serasa jelas, saat sang Baginda sujud di sekitar Ka’bah, tiba-tiba Uqbah bin Abu Mu’ith datang membawa jeroan unta dan melemparkannya ke punggung Baginda. Tapi Baginda Muhammad tetap melanjutkan sujudnya. 

Sayyida Fathima melihatnya dan datang mendekati sang ayah. Sambil menangis Sayyida Fathima membersihkan punggung ayahnya. “Nak, jangan menangis! Sebab Allah selalu melindungi ayahmu.” tutur sang Baginda.

Orang-orang Quraisy yang berkukuh menentang ajaran baru itu makin keras mengintimidasi Muhammad, juga terhadap para sahabat. Bahkan ada sahabat-sahabat yang mati terikat di tiang kayu dan dijemur di bawah terik musim panas, seperti halnya yang dialami Sumayyah, Yasir, dan Ammar.

Seraya mendengar uraian istriku, aku pun tak bisa menutup rasa penasaran atas sosok Mas Topo dan istrinya, Mbak Tini. Ya, kami akan ikut hadir di rutinan ngaji tafsir mereka.

“Ya, Bunda. Ayah tergoda dengan Mas Topo. Menurut Ayah, Mas Topo dan istrinya itu sedang melakoni hidup sebagai pejuang. Mereka rela hidup pas-pasan dengan usaha yang sederhana pula.”

Ungaran, 26 September 2025  

Baca juga: Amanat Itu


Posting Komentar

0 Komentar