Kita Arah Mana?

SUATU malam, selepas isya, Rahma berkisah tentang hijrah Nabi kepada Ahimsa dan Rakai, dua buah hati kami. 

Aku pun turut menyimaknya, kendati tidak dalam lingkaran mereka. Karena aku tengah menyunting tulisan yang hendak dikirim ke rekamjejak.com di ruang kerjaku, tepatnya di kamar tidurku. Kamar tidur ini persis bersebelahan dengan ruang tengah, di mana Rahma asyik berkisah di hadapan anak-anak.

Aku mendengar dengan sangat jelas dari lisan Rahma, Baginda Nabi mulai memberangkatkan para pengikutnya ke Yatsrib untuk menetap. Kota itu akan menjadi rumah baru mereka, tempat mereka bisa membangun kehidupan baru tanpa menjadi bulan-bulanan kaum kafir Quraisy.

Serasa aneh kedengarannya, para pengikut Baginda Nabi itu berangkat diam-diam, menghindari pandangan dari pemuka Quraisy. Mereka seolah-olah kabur dari penjara, padahal nyata-nyata mereka kabur dari rumah mereka sendiri. Mereka angkat kaki dari jalanan Makkah tempat mereka bermain saat masih kanak-kanak. Mereka meninggalkan pasar tempat mereka bersenda gurau dengan kawan-kawan, dan mengucapkan selamat tinggal kepada wajah-wajah akrab yang dahulu menatap mereka dengan penuh kehangatan.

Akhirnya, tinggal Baginda Muhammad, Sayyidina Abu Bakar, dan Sayyidina Ali yang tersisa di kota itu. Sementara musuh-musuh Islam yang notabene para pemuka Makkah, yang menyadari kepergian diam-diam kaum Muslim, marah besar karena para pengikut Muhammad Saw. itu pergi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di tempat lain. 

Logis, para pemuka Makkah itu khawatir, sebab Yatsrib terletak di rute menuju Suriah, salah satu mitra perdagangan utama Makkah. Mereka menduga dan memang begitu kenyataannya, umat Islam yang menetap di Yatsrib bisa dengan mudah mengadang rombongan kafilah dagang Makkah. Sehingga, selain sebagai pukulan telak dalam hal keuangan, perpindahan kaum Islam itu juga menjadi preseden yang sangat mempermalukan Dewan elite Makkah.

“Jika Muhammad menghimpun kekuatan dengan rakyat Yatsrib, mereka bisa menyerang kita, sedangkan kita mengetahui bahwa mereka sangat ahli dalam berperang,” ujar Qusay. 

“Maka, kita harus secepatnya menyingkirkan Muhammad sebelum ia ke Yatsrib!” sambung Abu Jahal.

Orang-orang di sekelilingnya mendengarkan baik-baik ketika ia melanjutkan, “Kita akan menyuruh sekelompok orang untuk membunuh Muhammad besok malam. Satu orang dari setiap keluarga. Jika semua keluarga menanggung beban pembunuhan, tidak akan ada satu orang atau satu keluarga yang bisa disalahkan. Jika keluarga Hasyim menuntut, akan berhadapan dengan semua keluarga suku Quraisy.”

Dewan elite Makkah itu pun memutuskan untuk menghentikan laju risalah Baginda Muhammad dengan cara membunuhnya sebelum ia berhasil lolos ke Yatsrib. Tetapi Allah Maha Perencana. Intel Baginda Nabi, Malaikat Jibril, memberi tahu dia rencana pembunuhan tersebut. Dan, pada kondisi paling berbahaya itu, Sayyidina Ali menunjukkan baktinya: bersedia jadi tumbal.

Para calon pembunuh telah berkumpul dekat rumah Baginda Nabi, menunggunya keluar. Namun, yang ditunggu tak kunjung keluar rumah.

Hingga matahari terbit, justru yang keluar adalah Ali bukan Muhammad. Sungguh terkecoh mereka, baru menyadari bahwa yang dijaga semalaman itu Ali, yang memang sengaja mengenakan jubah dan tidur di ranjang Baginda Nabi.

Sontak tebersit di benakku, suku Quraisy sangat mengagungkan kejantanan. Bahwa para pembunuh tidak lantas mendobrak rumah, kemudian masuk dan membunuh korban di dalam. Bahwa para pembunuh itu juga tidak lantas membunuh Sayyidina Ali, karena yang mereka sasar adalah Baginda Muhammad.

Mengetahui calon korban sudah tidak di tempat, dengan membiarkan Ali begitu saja, mereka cepat-cepat mengejar Baginda Muhammad. Mereka mengarah ke Yatsrib, untuk bisa menyusul sang baginda agar tak keburu dilindungi oleh penduduk Yatsrib.

Baginda Muhammad yang ditemani Sayyidina Abu Bakar berhasil mengelabuhi para pengejar. Sebelum memasuki Yatsrib, dalam beberapa hari mereka istirahat di Quba. Dan di Quba inilah Sayyidina Ali menyusul Nabi setelah mengembalikan barang-barang titipan kepada pemiliknya. Ini juga mengabarkan, betapa Baginda Muhammad tetap yang tepercaya. Orang-orang Quraisy tidak senang dengan misi Muhammad, tetapi tetap suka mempercayakan barang-barang kepadanya.

Di titik ini, aku berhenti menyimak penuturan Rahma. Aku bayangkan kemudian kedekatan hubungan Muhammad dengan Ali. Padahal rentang usia kedua sepupu itu sebetulnya lumayan jauh, 29 tahun. Tapi keduanya seperti tertakdir untuk mendapatkan perlindungan di keluarga masing-masing. Muhammad kecil tinggal di rumah Abu Thalib.

Kemudian Baginda Muhammad menikah dengan Bunda Khadija, giliran Ali yang masih kecil diasuh Muhammad. Ali seperti menjadi bagian dari keluarga Baginda Muhammad. Sayyida Khadija menganggap Ali seperti anak kandung sendiri, mengajarinya baca-tulis dan sebagainya.

Ketika Bunda Khadija meninggal, Ali sangat berduka sebagaimana Baginda Muhmmad. Ali sangat merasakan kehilangan sosok ibu yang sedemikian menyayanginya. 

Kedekatan kedua sepupu makin tak terpisahkan semenjak Sayyidina Ali dinikahkan dengan Sayyida Fathima, bungsu Baginda Nabi Saw. Dan bersama Sayyidah Fathima, Sayyidina Ali pun meniru gaya monogami Baginda Muhammad dengan Bunda Khadija. Seolah Ali-Fathimah adalah jilid kedua dari Muhammad-Khadija. 

Dari Fathima inilah lahir Hasan dan Hussein, cucu kesayangan Baginda Nabi. Mereka tumbuh sehat menjadi anak-anak remaja yang menghibur hari-hari melelahkan yang dijalani Baginda Saw. Dan dari kedua cucu ini pula, yang kelak dipercaya sebagai kelanjutan dari keturunan Nabi Saw., karena Baginda Muhammad memang tak memiliki anak laki-laki sebagai penyambung nasab.

Pada saat Baginda Muhammad tutup usia, Ali pula yang merawat jenazah Nabi. Menyiapkan liang lahat, dan seterusnya dan seterusnya. Saat yang sama, Ali tidak tertarik untuk mengikuti proses suksesi kepemimpinan.

Ya, dengan kapak dan sekop, Sayyidina Ali beserta kerabat kecilnya menggali kuburan persis di kamar Bunda Aisyah. Sebagaimana pesan sang Baginda agar dikebumikan di tempat dia meninggal. Dan pada tengah malam itu, jenazah mulia ini diturunkan ke dalam tanah.  

Nah, sepeninggal Baginda Muhammad, Sayyidina Ali bersama Sayyida Fathima dan keluarga kecilnya menjalani tahun-tahun kehidupan yang bersahaja dan jauh dari sorotan. Sayyidah Fathima benar-benar menjadi sosok ibu teramat sahaja. Bahkan saat Baginda Muhammad masih hidup, putri bungsunya telah sanggup menyikapi hidup penuh prihatin. 

Sayyidina Ali benar-benar menempuh jalan sunyi bersama istri dan anak-anak. Dan lagian orang-orang pun berasa memalingkan muka, para sahabat mulai menjaga jarak, serta kolega hanya lewat tanpa tegur sapa. 

Sayyida Fathima sendiri mulai merasa bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Ia pun meminta suaminya untuk menguburnya secara diam-diam, persis sang ayah yang juga tak dihadiri para sahabat utama saat dikebumikan karena larut dalam proses suksesi.

Ali memenuhi harapan istrinya. Sayyidina Ali mengubur jenazah sang istri pada tengah malam, seperti belum lama dia mengubur ayahnya, Baginda Saw. 

Demikian kiranya bahwa Sayyidina Ali, yang sedikit banyak meniru sang Baginda Nabi, yang setia kepada Sayyida Fathima hingga akhir hidupnya.

Selanjutnya, tak banyak kisah tentang Sayyidina Ali pada kepemimpinan Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar, setidaknya saya belum nememu kisah tersebut. Pada saat Sayyidina Utsman, Sayyidina Ali sedikit kelihatan, itu pun lantaran gaya kepemimpinan Sayyidina Utsman yang banyak menuai kritik dari umat. 

Hingga kemudian, Sayyidina Ali menggantikan Sayyidina Utsman sebagai khalifah keempat, tapi sudah dalam kondisi masyarakat yang carut marut. Sayyidina Ali benar-benar berasa sendirian sebagai penerus risalah Baginda Muhammad di tengah para sahabat dan masyarakat yang jauh dari tuntunan.

Sayyidina Ali masih berorientasi akhirat, sementara yang dipimpin sudah sama-sama mengarah ke bumi. Sayyidina Ali masih sebagai manusia spiritualis, sementara umatnya adalah manusia-manusia materialis. Dan kita sendiri arah yang mana?

Aku sudah tak mendengar lagi suara Rahma berkisah di hadapan anak-anak. Tampaknya mereka telah menyudahi, atau malah sudah berlelap seraya memimpikan Sayyidina Ali, Sayyida Fathima, atau Sayyidina Hasan dan Husein. 

Eh…tapi aku membayangkan Sayyidina Ali yang sebegitunya ini, bukan berarti aku penganut Syiah lho! Aku tetaplah seorang Sunni. Hahaha…. 

Ungaran, 21 September 2025

Baca juga: Setara di hadapan Tuhan

Posting Komentar

0 Komentar